13 Desember 1957, 67 tahun lalu, Indonesia membuat sejarah lewat Deklarasi Djuanda.
Hari itu, Perdana Menteri Republik Indonesia, Djuanda Kartawidjaja menandatangani sebuah deklarasi yang disebut “Deklarasi Djuanda”.
Meskipun saat itu Indonesia sudah merdeka, namun hingga 1950-an peta wilayah dan laut Indonesia masih mengacu pada ketentuan warisan Belanda, yaitu Teritoriale Zeeen en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939.
Merujuk pada peraturan itu, Indonesia hanya berhak atas wilayah laut tiga mil dari lepas pantai setiap pulau. Dengan ketentuan itu, Laut Jawa, Selat Karimata, Laut Flores, Laut Arafuru, Sulawesi dan lainya menjadi laut bebas atau perairan internasional.
Dan konsekuensinya, wilayah laut itu menjadi zona bebas yang bisa dilalui oleh kapal-kapal dari berbagai negara, tanpa perlu izin dari pemerintah Indonesia.
Konsekuensi lainnya, wilayah kepulauan Indonesia terpecah-pecah dengan setiap pulau dibatasi oleh laut bebas. Padahal, Indonesia memiliki sekitar 17 ribu pulau yang harus dijaga kesatuan dan pertahanannya.
Djuanda tak setuju dengan aturan lama itu. Karena itu, tak menunggu lama setelah ditunjuk sebagai Perdana Menteri, Djuanda melahirkan Deklarasi Djuanda.
Arti penting Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda punya tiga arti penting. Pertama, dekolonisasi terhadap batas lautan teritorial warisan Belanda, yaitu TZMKO 1939.
Kedua, Indonesia menyatakan kedaulatannya atas wilayah laut di kepulauan Nusantara (kedaulatan maritim).
Segala perairan di sekitar, di antara, maupun yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya, merupakan wilayah perairan RI dan di bawah kedaulatan RI.
Deklarasi Djuanda juga menetapkan batas teritorial laut Indonesia sepanjang 12 mil diukur dari titik terluar pulau.
Ketiga, penegasan Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau dengan sifat dan coraknya tersendiri.
Sebagai konsekunesinya, wilayah RI bertambah 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² (belum menghitung Papua karena saat itu belum dinyatakan sebagai bagian dari RI).
Perjuangan mewujudkan Deklarasi Djuanda
Usai dideklarasikan, Deklarasi Djuanda tidak serta merta diterima dan diakui negara lain. Beberapa negara mengirimkan nota protes, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Australia, Belanda, Prancis, dan Selandia Baru.
Indonesia melakukan perjuangan diplomatik dengan merangkul negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Australia dan Singapura, untuk membuat perjanjian mengenai batas-batas wilayah laut masing-masing.
Hingga, pada 1982, saat Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982), AS dan negara-negara anggota PBB lainnya mengakui Deklarasi Djuanda.
Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid, hari penandatanganan deklarasi Djuanda, 13 Desember, ditetapkan sebagai Hari Nusantara. Keputusan itu diperkuat oleh Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara.