Brasil meringkuk di bawah kolonialisme selama 300-an tahun. Lalu, setelah merdeka, negeri ini terjerembap dalam kediktatoran militer selama lebih dari dua dekade (1960-1985). Tahun 1990-an, setelah angin demokrasi mulai berhembus, Brasil bertungkus lumus dalam pusaran neoliberalisme.
Masa kegelapan itu mewariskan dua masalah besar: kemiskinan dan ketimpangan. Tahun 1999, angka kemiskinan Brasil mencapai hampir separuh dari total penduduknya (45,80 persen). Sementara 1 persen penduduk terkaya menguasai hampir separuh dari kekayaan nasionalnya.
Tahun 2002, Lula da Silva, seorang aktivis buruh yang hanya tamat sekolah dasar, memenangi pemilu dan terpilih sebagai presiden Brasil. Dia diusung oleh Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores/PT).
Begitu berkuasa, Lula berhadap-hadapan dengan aneka ragam persoalan. Namun, ada dua masalah yang menjadi sasaran tembak pertamanya, yaitu kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Pada 2003, Lula memulai sebuah program sosial untuk memerangi kemiskinan. Namanya: Bolsa Família. Ini adalah tunjangan sosial berbentuk uang tunai yang diberikan kepada keluarga miskin dan rentan (vulnerable).
Mengapa Bolsa Família?
Ketika baru diluncurkan, Bolsa Família bukan tanpa kritik. Sebuah peribahasa kuno yang konon berasal dari Konfusius kerap jadi bahan serangan: “Berikan ikan pada seseorang dan kamu memberinya makan sehari. Ajari dia memancing dan kamu memberinya makan seumur hidup.”
Tapi Lula dan pemerintahannya juga punya alasan kuat. Kemiskinan tidak melulu bersifat patologis, seperti karena malas atau tidak mau mencari pekerjaan. Sebagian besar kemiskinan disumbang oleh problem struktural, seperti struktur sosial dan kebijakan pemerintah.
“Orang menjadi miskin bukan karena malas atau tidak tahu bekerja. Mereka miskin karena tidak punya kesempatan, tidak mengenyam pendidikan yang memadai, dan tidak punya akses pada layanan kesehatan,” kata Tereza Campello, salah satu ekonom yang dirangkul Presiden Lula da Silva untuk merancang program ini, seperti dikutip Guardian.
Patrus Ananias, Menteri Pembangunan Manusia dan Pemberantasan Kemiskinan di era Lula da Silva, berpendapat, agar rakyat miskin bisa berdaya, maka langkah pertama yang mesti dilakukan adalah memastikan akses terhadap hak dasarnya, terutama pangan.
“Hanya perut yang kenyang yang bisa memancing,” katanya.
Bolsa Família dirancang agar si miskin bisa sedikit berdaya, sehingga bisa mengakses kebutuhan dasarnya (pangan, pendidikan, dan kesempatan), sembari mencari jalan untuk bekerja atau mendapatkan penghasilan.
Selain itu, program ini menyasar kantong kemiskinan yang jarang disentuh oleh jaminan sosial maupun asuransi sosial, seperti pengangguran, pekerja informal dan anak-anak.
Bolsa Família bersifat targeting, yang hanya menyasar kelompok sangat miskin (extremely poor) dan miskin (miskin dan rentan). Kelompok sangat miskin adalah mereka yang berpendapatan di bawah USD 22 per bulan (sekitar Rp 308 ribu, dengan kurs Rp 14.000/ USD 1), sedangkan kategori miskin di bawah USD 44 per bulan (sekitar Rp 616 ribu, dengan kurs Rp 14.000/ USD 1).
Selain itu, para penerima adalah keluarga yang mempunyai ibu sedang hamil/menyusui atau punya anak-anak yang sedang menempuh pendidikan.
Harapannya, selain membuat si miskin punya daya beli untuk mengakses kebutuhan dasarnya, ada dukungan untuk perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan anak-anaknya. Jadi, sebelum si anak lahir, mereka sudah mendapatkan dukungan gizi dan layanan kesehatan.
Setiap penerima menerima uang tunai minimal USD 35 dan maksimal USD 49 per bulan. Nilai itu hanya seperempat dari nilai upah minimum Brasil yang hanya USD 217.
Para penerima akan menerima transfer uang tunai lewat rekeningnya setiap bulannya hingga mereka dianggap sudah benar-benar keluar kemiskinan.
Pemerintah Brasil saat itu sadar, kemiskinan punya dua dimensi, yaitu kronis dan akut. Kemiskinan kronis adalah mereka yang miskin sejak lahirnya. Sedangkan kemiskinan akut adalah mereka yang miskin karena situasi ekonomi atau pasar tenaga kerja yang tidak stabil.
Jadi, meskipun penerima Bolsa Família sudah mendapat pekerjaan atau penghasilan yang bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, tunjangan tunai tidak serta merta akan dihentikan. Sebab, si miskin sangat rentan untuk kembali terjerembap dalam kemiskinan karena situasi ekonomi maupun pasar tenaga kerja yang tidak stabil.
Oiya, agar efektif mengurangi kemiskinan, Bolsa Família tidak berjalan sendirian. Program ini bergandengan dengan program lain, seperti jaminan pangan, jaminan upah layak, dan dukungan bagi warga di pedalaman. Program Bolsa Família hanya salah satu program yang bernaung di bawah visi besar untuk mewujudkan Brasil Sem Miseria (Brasil tanpa kemiskinan).
Dan yang terpenting, sejak pemerintahan Lula da Silva dan Dilma Rousseff, Brasil agak berjarak dari kebijakan neoliberalisme. Jadi, Bolsa Família bukan sejenis jaring pengaman sosial untuk menangani dampak mengerikan dari neoliberalisme.
Capaian Bolsa Família
Pada 2020, ada 13,8 juta keluarga miskin yang menjadi penerima Bolsa Família. Kalau dirata-ratakan, mereka menerima USD 47 atau sekitar Rp 658 ribu (kurs Rp 14.000) per bulan. Seperempat penduduk Brasil sekarang tercakup dalam program ini.
Dalam satu dekade (2002-2012), jumlah orang Brasil yang hidup di bawah R$ 70 (real Brasil) turun dari 8,8 persen menjadi 3,6 persen. Dalam satu dekade itu, ada 12 persen (1,7 juta keluarga) yang tak lagi menerima tunjangan tunai karena sudah dianggap mapan secara ekonomi.
Data dari FGV Social menunjukkan, angka kemiskinan ekstrem berkurang dari 7,7 persen pada 2003 menjadi 2,34 persen pada 2014 (tahun-tahun menjelang penggulingan Presiden Dilma Rousseff oleh sayap kanan).
Secara umum, angka kemiskinan berkurang dari 41.50 persen pada 2003 menjadi 17,46 persen pada 2014. Angka itu merupakan yang terendah dalam sejarah. Namun, sejak Brasil di bawah pemerintahan sayap kanan, dari Michel Temer (2016-2018) dan Jair Bolsonaro (2018-sekarang), angka kemiskinan kembali merangkak naik.
Selain itu, Bolsa Família juga berdampak pada perbaikan indikator pendidikan dan kesehatan. Pemerintah mengklaim, ada peningkatan 10 persen anak bersekolah setelah menerima Bolsa Família. Kemudian ada peningkatan 25 persen ibu-ibu yang rajin mengunjungi layanan kesehatan.
Saking suksesnya, Bank Dunia menyebut Bolsa Família sebagai “revolusi senyap” (quiet revolution). Lembaga keuangan internasional ini juga menyebut Bolsa Família sebagai senjata untuk memerangi kemiskinan dan ketimpangan.
Menariknya lagi, meski terbilang sukses, program ini tak banyak menyedot anggaran negara. Program tersebut hanya menyedot anggaran sebesar 0,5 persen dari PDB Brasil atau 2,5 persen dari belanja pemerintah.
Tentu saja, tantangan terbesar program sosial seperti ini, apalagi yang model “targeting”, adalah korupsi dan birokratisme. Awalnya, demi mencegah hal itu, Lula membentuk Komite Kota yang dipilih secara terbuka. Komite inilah yang menentukan penerima, mengontrol, dan mengevaluasi penggunaannya.
Namun, karena cara ini memicu konflik dengan walikota yang tak sedikit dikuasai oleh sayap kanan, Lula mengembalikan urusan penentuan penerima program ini ke kantor walikota. Demi mencegah korupsi dan birokratisme, selain pengecekan dan monitoring program, dia membuat skema yang terdesentralisasi, saluran telepon untuk pengaduan, dan membentuk semacam komite kontrol (Social Control Councils, SSCs) di setiap kota.
Memang, perjuangan Brasil untuk menghapuskan kemiskinan dan ketimpangan masih jauh dari usai. Apalagi, selama enam tahun terakhir, Brasil diperintah oleh dua rezim sayap kanan yang mengembalikan neoliberalisme.