Dalam buku Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912–1926, ada catatan menarik tentang perjuangan Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo mendobrak kekuasaan feodal.
Sang dokter, yang memang dikenal sangat anti-feodal, menggunakan pementasan ketoprak sebagai senjatanya. Dan, supaya serangannya tepat sasaran, ia mengangkat Babad Ki Ageng Mangir, yang ceritanya telah direvolusionerkan.
Itu terjadi pada 1919 di Surakarta. Saat itu, kota tersebut sedang diterjang gelombang revolusioner. Keresahan luas menjangkiti petani perkebunan tembakau. Mereka tidak puas dengan glidig (upah dari kerja wajib yang dibayar) dan kerja wajib yang tidak dibayar.
Sebagian besar petani itu diorganisir oleh Insulinde. Dokter Tjipto sendiri merupakan tokoh pendiri Insulinde. Oleh Insulinde, perlawanan petani ini kemudian dimuarakan melalui aksi mogok. Pengusaha perkebunan resah. Mereka memanggil pemerintah dan Kasunanan Surakarta untuk turun tangan. Terjadilah persekutuan antara tuan kolonial dan tuan feodal untuk menindas rakyat jelata.
Dr Tjipto mengutuk keras kejadian itu. Dalam koran Panggoegah, terbitan Insulinde, ia melancarkan serangan ke Troika: sunan, pemerintah kolonial, dan pengusaha perkebunan. Namun, sebagai tembakan awal, ia menyasar Kasunanan Surakarta.
Selain melalui Panggoegah, Tjipto juga memanfaatkan Volksraad sebagai terompetnya. Dalam sebuah pidatonya di Volksraad, ia menghubungkan penindasan kaum tani dengan kekuasaan feodal Surakarta. Menurutnya, standar hidup petani yang sangat rendah, yang hampir menyentuh di bawah subsisten, disebabkan oleh kewajiban memelihara kerajaan.
Menurutnya, gelimang kemewahan yang dinikmati oleh sunan dibayar dari kantong kaum kromo. Tak hanya itu, akibat ketundukan sunan kepada penguasa kolonial, rakyatnya digiring untuk membayar pajak, melakukan kerja wajib, dan menyerahkan tanah pada perkebunan. Dan sunan mendapat bayaran dari penguasa kolonial atas jasa baiknya itu.
Serangan Tjipto membuat murka pihak kerajaan. Serangan balik pun dilancarkan. Antek-antek kerajaan, termasuk Boedi Oetomo, ikut dalam paduan suara anti-Tjipto. Koran BO, Dharma Kanda, berada di barisan terdepan menyerang Tjipto.
Selain BO, Sarekat Islam (SI) pro-kerajaan juga ikut menentang Tjipto. Tokoh utamanya adalah Haji Samanhudi, pengusaha batik dari Lawean, yang juga pemimpin SI setempat. Haji Samanhudi kemudian membentuk Komite Anti Tjipto.
Tetapi Tjipto tidak gentar. Bahkan, ia makin sengit menyerang. Untuk menambah amunisi serangannya, ia merencanakan pertunjukan ketoprak anti-kerajaan. Ketoprak adalah teater rakyat yang populer di Jawa, termasuk di Surakarta. Ia yakin, dengan menggunakan ketoprak, massa rakyat bisa termobilisasi.
Lakon yang dipilih adalah Ki Ageng Mangir. Ini menceritakan tentang usaha penguasa Mataram, yakni Penembahan Senopati, menaklukkan sebuah daerah otonom bernama Mangir. Daerah otonom diperintah oleh seorang bijak bernama Ki Ageng Mangir. Berbagai upaya raja menumpas Ki Ageng Mangir menemui kegagalan. Pasalnya, Ki Ageng Mangir punya tombak yang sangat sakti.
Singkat cerita, supaya bisa menumpas Ki Ageng Mangir, Penembahan Senopati memakai cara licik. Ia menjadikan putrinya sebagai umpan untuk membujuk Ki Ageng Mangir agar menghadap kepada raja. Si putri raja ini kemudian pura-pura menjadi ronggeng untuk memikat cinta Ki Ageng Mangir.
Usaha itu berhasil. Setelah menikah, si putri membujuk Ki Ageng agar menghadap raja. Ki Ageng memenuhi permintaan itu. Berangkatlah ia dengan membawa pasukan dan tombak saktinya. Namun, begitu mendekati istana, Ki Ageng disuruh melepaskan senjatanya. Akhirnya, Ki Ageng menghadap raja dengan tangan kosong. Ini dijadikan kesempatan oleh raja untuk menumpas Ki Ageng.
Namun, cerita belum berakhir. Putri raja―yang juga istri Ki Ageng Mangir―mengetahui suaminya dibunuh oleh ayahnya. Murkalah ia kepada ayahnya sendiri.
Melalui cerita itu, Tjipto menyindir leluhur Kesultanan Surakarta sebagai pengecut dan licik. Dalam dunia ksatria, tindakan semacam itu jelas tidak terpuji dan sangat hina. Pesan Tjipto juga sangat jelas: kalau leluhurnya saja begitu, maka keturunannya pun (Susuhunan Pakubuwana X dan Mangkunegara VII) juga pasti demikian.
Melalui lakon itu, Tjipto berharap, rakyat bisa menyadari kelakuan buruk dan tipu-muslihat tuan feodal. Maklum, raja-raja dan bangsawan suka menjaga kewibawaan mereka dengan kesantunan, nada bicara yang halus, dan cerita-cerita berbau mitos.
Pementasan ketoprak itu sedianya dilakukan bersamaan dengan Kongres Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH, organisasi pengganti Insulinde) di Surakarta pada 21 Maret 1920. Ia menyewa kelompok wayang orang milik sunan, Sriwedari.
Awalnya, Residen Surakarta AJW Harloff menyetujui dan memberi izin atas pementasan itu. Namun, pihak keraton sudah mencium niat Tjipto melalui pertunjukan itu. Karena itu, pihak keraton memperingatkan residen, bahwa pertunjukan itu akan mempermalukan keraton. Akhirnya, secara sepihak Harloff membatalkan izinnya.
Namun, tindakan Harloff melarang pementasan itu justru membuat blunder. Pasalnya, Babad Ki Ageng Mangir itu resmi diterbitkan pemerintah. Alur ceritanya pun persis sama. Artinya, dengan melarang pementasan itu, sama saja residen melawan pemerintah. Tjipto, yang melihat celah itu, langsung melancarkan serangan frontal ke residen.
Kongres NIP-SH tetap berlangsung. Juga, kendati sudah dilarang, isu tentang pegelaran lakon Ki Ageng Mangir tetap disebar. Kelompok pro-kerajaan gempar. Acara kongres dijaga ketat polisi. Suasana tegang berlangsung sepanjang kongres.
Haji Misbach hadir dan membuka kongres itu. Setelah itu, giliran Tjipto tampil di podium. Namun, tak lama kemudian, ia turun lagi dan berdiri di tengah peserta. Ia menceritakan perihal lakon Ki Ageng Mangir, sembari mengajak anggota NIP-SH tetap berjuang melawan penguasa kolonial dan kekuasaan feodal.
Usai kongres, perseteruan tak berakhir. Malahan, sesuai kongres, di daerah pedesan muncul pergolakan. Buruh pabrik gula dan petani―yang diorganisir oleh SH, PFB, dan SI Delanggu―melancarkan aksi pemogokan. Residen menuding Tjipto sebagai pihak yang menebar kekacauan dan kerusuhan di Surakarta.
Pada Januari 1921, residen Surakarta mengusir Tjipto. Akhirnya, dengan paksaaan polisi, Tjipto dibawa ke Yogyakarta. Tjipto kemudian tinggal di Bandung, hingga pada 1927, ia dibuang ke Banda.
Namun, aksi Tjipto meninggalkan kesan. Banyak yang menghargai keberanian dan sikap revolusioner Tjipto semasa di Surakarta. Mereka memanggilnya “Tjipto Sang Ksatria”.