Transisi Sulit Metamorfosis Gaya Aktivis

Ketika para aktivis yang dahulu vokal dalam memperjuangkan isu-isu sosial beralih menjadi pejabat publik, banyak dari mereka yang masih membawa kebiasaan lama ke dalam peran barunya. Salah satu kebiasaan yang sering kali terlihat adalah gaya komunikasi yang blak-blakan dan konfrontatif.

Sebagai aktivis, gaya ini mungkin sangat efektif untuk menyuarakan ketidakadilan dan memperjuangkan perubahan. Namun ketika mereka menduduki posisi formal di pemerintahan, gaya ini bisa menimbulkan friksi dengan kolega atau pihak lain yang terbiasa dengan etika formal dan diplomasi.

Mestinya pejabat publik mampu menavigasi relasi dengan lebih halus dan berhati-hati, terutama dalam konteks negosiasi kebijakan atau diplomasi antar lembaga.

Selain itu, kebiasaan dalam hal etiket atau “table manner” juga sering menjadi tantangan. Beberapa aktivis yang terbiasa dengan gaya hidup sederhana dan kolektif mungkin merasa tidak nyaman atau bahkan canggung dalam pertemuan-pertemuan formal yang penuh dengan protokol.

Mereka, misalnya, masig menggunakan bahasa tubuh yang kurang formal, cara berbicara yang terlalu kasual, atau kurangnya pemahaman terhadap tata cara dalam jamuan resmi. Ini bisa menyebabkan kesalahpahaman dalam relasi dengan kolega atau mitra, terutama dalam konteks internasional, di mana etika dan protokol sangat dihargai.

Salah satu kebiasaan lain yang sering terbawa adalah kecenderungan untuk berpikir dan bertindak secara independen tanpa melibatkan tim atau konsensus. Ketika menjadi aktivis, mengambil inisiatif sendiri dan bergerak cepat merupakan keharusan untuk merespons situasi kritis.

Namun, posisi di pemerintahan, keputusan yang dibuat biasanya melibatkan banyak pihak dan memerlukan proses birokrasi yang lebih lambat serta memerlukan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Gaya kerja yang terlalu individualistis ini bisa menjadi penghalang dalam menciptakan kerja sama yang baik dan berkelanjutan di dalam pemerintahan.

Masih ada kebiasaan misalnya dalam merespons kritik. Aktivis cenderung merespons kritik dengan langsung melakukan aksi atau menyuarakan bantahan keras sebagai bentuk perlawanan. Ketika menjadi pejabat publik, pendekatan semacam ini bisa menimbulkan ketegangan dengan masyarakat atau bahkan media.

Pejabat publik dituntut untuk memiliki kemampuan mendengarkan, bersikap lebih terbuka, dan mengedepankan dialog konstruktif ketimbang konfrontasi terbuka, terutama ketika berhadapan dengan kritik yang datang dari berbagai arah.

Kesulitan mengadaptasi diri dalam sistem birokrasi yang lambat dan penuh aturan juga menjadi tantangan besar. Para aktivis sering terbiasa dengan dinamika yang serba cepat dan penuh semangat, sementara pejabat publik harus menyesuaikan diri dengan prosedur yang lebih rigid.

Kegagalan untuk beradaptasi dengan kultur birokrasi ini tidak hanya dapat memengaruhi efektivitas seorang pejabat, tetapi juga bisa merusak relasinya dengan rekan-rekan kerja yang lebih terbiasa dengan ritme kerja terstruktur dan penuh prosedur. Akibatnya, meskipun memiliki niat yang baik untuk memperbaiki sistem, mereka bisa dianggap sulit bekerja sama atau bahkan kontra produktif.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Jalan Panjang Kuasa Modal di Indonesia

Jalan Panjang Kuasa Modal di Indonesia

Perubahan kekuasaan di Indonesia merantang panjang melintasi berbagai zaman

Next
Jejak Aktivisme dan Perjuangan Sujatin Kartowijono

Jejak Aktivisme dan Perjuangan Sujatin Kartowijono

Tahun 1920-an, api pemikiran Kartini membakar semangat seorang remaja perempuan

You May Also Like
Total
0
Share