Ada bertumpuk-tumpuk kasus penggusuran paksa warga negara dengan mengatasnamakan tanah milik negara, demi kepentingan umum, atau proyek strategis nasional.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut, ada 115 konflik agraria yang terkait dengan proyek strategis nasional (PSN) sepanjang 2020-2023.
Letupan konflik agraria membesar di era pemerintahan Joko Widodo. Dalam catatan KPA, sepanjang 2015 hingga 2023, ada 2.939 konflik agraria yang didominasi oleh perkebunan dan proyek strategis nasional atau PSN.
Politik agraria yang menganulir hak-hak warga biasa atas nama milik negara mengingatkan kita dengan konsep agraria zaman kolonial: domein verklaring.
Apa itu domein verklaring?
154 tahun lampau, atau tepatnya pada 1870, demi memfasilitasi kepentingan investasi di sektor perkebunan, Belanda mengadopsi konsep domein verklaring atau ”pernyataan domein”.
Konsep itu menjiwai Undang-undang (UU) Agraria atau Agrarische wet Hindia-Belanda yang disahkan oleh Menteri Negara jajahan kala itu, Engelbertus de Waal. UU ini memuat ketentuan yang terus diingat dalam sejarah sebagai prinsip domein verklaring: bahwa semua tanah yang tak memiliki bukti kepemilikan dianggap domain negara.
Melalui pernyataan domein, semua tanah tak bertuan, yang tak memiliki bukti kepemilikan sesuai aturan kolonial, dianggap tanah pemerintah (Hindia-Belanda). Dengan dalih itu, pemerintah kolonial merasa berhak mengusir penduduk yang bertempat tinggal atau melakukan kegiatan usaha di atas tanah negara.
Sejak pemberlakuan UU Agraria itu, investor swasta pun berbondong-bondong ke Hindia-Belanda untuk menanamkan modalnya dengan sokongan negara. Di tahun yang sama, pemerintah kolonial juga mengesahkan UU Gula atau Suikerwet.
Dampak domein verklaring
Di bawah rezim domein verklaring, semua tanah yang tak bisa dibuktikan kepemilikannya akan menjadi milik negara. Oleh negara, tanah ini akan diserahkan untuk disewa oleh swasta.
Masalahnya, sebagian besar tanah saat itu tak mempunyai bukti kepemilikan berbentuk dokumen. Sehingga, domein verklaring menjadi sarana legal penguasa dan pengusaha untuk merampas tanah rakyat dan adat.
Konflik agraria meletus di mana-mana. Sepanjang 1870-an hingga 1930-an, ada pemberontakan petani di berbagai tempat, seperti kasus Amat Ngisa (1871), pemberontakan Cilegon (1888), kerusuhan Ciomas (1886), pemberontakan Gedangan (1904), dan pemberontakan Dermajaya (1907). Kemudian ada peristiwa Langen di daerah Banjar, Ciamis (1905), Peristiwa Cisarua dan Koja, Plered (1913-1914), dan Peristiwa Rawa Lakbok, Ciamis (1930).
Dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, terselip cerita seorang petani buta huruf bernama Kromodongso. Tanah-tanah mereka dicaplok paksa oleh pengusaha gula dengan bantuan pejabat kolonial dan tentaranya.
Dihapus oleh UUPA 1960
Pasca proklamasi kemerdekaan, seiring dengan semangat dekolonialisasi, ada perjuangan politik untuk mengubah kebijakan politik agraria kolonial agar lebih berkeadilan.
Tahun 1948, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 13 tahun 1948 tentang penghapusan hak-hak istimewa (hak conversie) perusahaan pertanian dan perkebunan warisan Belanda.
Pada tahun itu juga pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948 tentang Panitia Agraria. Panitia ini bertugas menyusun UU baru pengganti UU Agraria kolonial (Agrarische Wet 1870). Sayang, karena situasi perang fisik, panitia ini tidak bisa bekerja secara maksimal.
Tahun 1951, pemerintah kembali membentuk Panitia Agraria baru: Panitia Agraria Jakarta. Salah satu usulan panitia ini adalah soal batas luas minimum dan maksimum pemilikan tanah.
Tahun 1953, ada konflik di bekas perkebunan tembakau antara pemerintah setempat dan petani penggarap di Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Konflik itu menyebabkan 21 orang petani tertembak dan enam di antaranya meninggal.
Tahun 1955, penyair Agam Wispi mengabadikan kisah pedih petani Tanjung Morawa lewat puisi: Matinya Seorang Petani. “Depan kantor tuan bupati/tersungkur seorang petani/karena tanah/karena tanah.”
Tahun 1956, setahun setelah pemilu, pemerintah membentuk Panitia Agraria baru dipimpin oleh Soewahjo Soemodilogo: sering disebut Panitia Soewahjo. Tetapi panitia ini tidak bekerja lama.
Setahun kemudian, pemerintah mengganti Panitia Soewahjo dengan Soenario. Tugasnya tetap sama: menyusun UU Agraria yang baru. Pada 24 April 1958, Panitia Soenario berhasil menyelesaikan RUU-PA (disebut rancangan Soenario).
Pada 24 September 1960, rancangan UU Agraria yang progresif disepakati dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA 1960).
UUPA 1960 dianggap UU Agraria paling revolusioner dalam sejarah hukum agraria nasional karena menjamin hak setiap warga negara atas tanah, mengakui hukum adat, mengakui fungsi sosial tanah, membatasi luasan kepemilikan tanah, dan memastikan warga negara asing tak punya hak milik atas tanah.
Selain itu, UUPA juga menghapus konsep domein verklaring dalam politik agraria Indonesia.
Dihidupkan oleh Orde Baru
Saat Orba berkuasa, UUPA 1960 terkubur. Di sisi lain, azas domein verklaring justru dihidupkan, termasuk dalam UU Pokok Kehutanan 1967.
Lewat UU baru itu, sekitar 143 juta hektare (hampir 75 persen dari seluruh luas lahan Indonesia) lahan ditetapkan sebagai kawasan hutan dan dinyatakan milik negara. Presiden Soeharto memutuskan tanah di kawasan ini dikuasai negara (melalui Kementerian Kehutanan) dan tak bisa dimiliki masyarakat lokal di Indonesia.
Lalu, negara mengobral kawasan hutan kepada perusahaan swasta lewat berbagai mekanisme perizinan. Akhirnya, ada banyak letupan konflik agraria di masa itu dan sebagian belum selesai hingga hari ini.
Hari ini, konsep domein verklaring masih terus hidup. Saat ini negara masih mengklaim 63 persen wilayah daratan Indonesia sebagai kawasan hutan. Ironisnya, seperti kelakuan pemerintah Hindia-Belanda di masa kolonial, negara menggunakan kontrolnya terhadap tanah untuk memberikan konsesi kepada korporasi.
Data pemerintah tahun 2017 menunjukkan, 95,76 persen izin konsesi kehutanan diberikan kepada korporasi dan hanya 4,14 persen dialokasikan bagi masyarakat.
Tidak hanya itu, ada banyak UU, termasuk UU Cipta Kerja, yang mengadopsi kembali asas domein verklaring demi memfasilitasi kepentingan bisnis sektor swasta.
Sudah satu setengah abad lebih domein verklaring membelenggu hak-hak rakyat untuk mengakses tanah dan memperoleh manfaat dari kekayaan sumber daya alam negerinya. Jika ingin rakyat berdaulat atas tanah dan kekayaan alam negeri, sesuai mandat pasal 33 UUD 1945, maka konsep domein verklaring itu harus dihilangkan dalam produk hukum, maupun cara pandang politik agraria nasional.