Empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 27 Desember 1949, Indonesia sudah memiliki perempuan yang menjadi Walikota.
Dia adalah Charlotte Salawati Daud. Dia menjadi Walikota di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 27 Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950. Ia memimpin kota Makassar di tengah gangguan keamanan akibat pemberontakan Andi Azis.
Salawati lahir di Tariang Baru, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pada 20 Maret 1909. Ia pindah ke Makassar pada usia 20-an tahun.
Di kota itu, ia memulai jalan aktivismenya dengan menjadi bagian dari Perserikatan Celebes. Tahun 1930-an, ia mulai menjadi bagian dari pergerakan kaum nasionalis.
Pada 1945, ia menerbitkan majalah Wanita untuk edukasi hak-hak perempuan. Majalah tersebut terbit dua kali sebulan. Jumlah oplah-nya berjumlah ribuan tiap terbit.
Tak berselang lama pasca Proklamasi, kota Makassar sudah diduduki oleh NICA. Para pelajar tak terima, lalu menyusun gerakan perlawanan. Salah satu peristiwa penting di masa itu adalah penyerbuan Empress Hotel, tempat NICA bermarkas, pada Oktober 1945.
Saat itu, Salawati bersama kawan-kawannya mendirikan “Tim Penerangan” untuk mengkampanyekan penolakan terhadap kehadiran NICA.
Namun, Salawati tak sekedar berkampanye, ia juga turut memanggul senjata dan terjun ke medan pertempuran.
Salah satu momen heroik Salawati dalam perang mempertahankan kemerdekaan RI adalah penyerbuan markas Belanda di Masamba pada 29 Oktober 1949. Peristiwa yang dikenang sebagai Masamba Affair” berhasil menunjukkan eksistensi pejuang Republik Indonesia jelang KMB.
Pasca pengakuan kedaulatan, Salawati mengemban amanah sebagai Walikota Makassar. Di pundaknya melekat tanggung jawab untuk memulihkan keamanan di tengah gangguan gerombolan bersenjata bekas KNIL.
Puncaknya, ia berhadap-hadapan dengan pemberontakan Andi Azis, yang menolak peleburan Negara Indonesia Timur (NIT) menjadi Republik Indonesia.
Selain itu, dia juga dipercaya oleh pemerintah pusat untuk bernegosiasi dengan tokoh DI/TII, Kahar Muzakkar. Ia dianggap cukup berpengaruh terhadap tokoh yang memimpin komando gerilya sulawesi selatan (KGSS) itu.
Selain kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan, Salawati punya jasa besar bagi pergerakan perempuan. Ia punya andil pada pendirian Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), yang kelak berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Pada pemilu 1955, ia maju sebagai caleg dari Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai wakil Gerwani. Ia terpilih dan menjadi anggota DPR.
Peristiwa G30S 1965 mengubah jalan hidup Salawati. Ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara Bukit Duri, lalu dipindahkan ke penjara Plantungan. Ia meninggal pada 1985.