Terkubur indah legenda indah tembang pribumi
Nyanyian panjang kehidupan
Semua orang berlari mengejar mimpi
Kata dan nadapun sumbang dan kehilangan arti
Tinggal bumi nan terasing kering dan bising
Lalu cinta membaur lara
Bersama harapan usang dalam dada
Kau persada tercinta langitmu keruh
Mendung kelabu,
Meremangi cita-cita alam merdeka dihidup ini
Fajar manakan cerah berpijar
Menghangati kemegahan pertiwi
Bila cinta meredup memudar
Tiada lagi cita rasa dihati
Bila cinta bukan mesti memiliki
Lalu mengapa ia harus bersemi
Kini pertiwi terpencil sunyi
Menyongsong fajar berseri
Laksana titik api di malam sepi (3X)
Tembang Pribumi,Utha Likumahuwa
(Lomba Cipta Lagu Remaja 1981)
Musik selalu menjadi cerminan zaman. Lagu Tembang Pribumi karya Utha Likumahuwa yang lahir pada 1981, bukan sekadar rangkaian lirik dan melodi, melainkan sebuah jeritan hati tentang perubahan zaman yang menggerus nilai-nilai lokal dan kearifan lingkungan. Dalam bait pertamanya, “Terkubur indah legenda indah tembang pribumi, nyanyian panjang kehidupan,” tersirat kepedihan atas hilangnya warisan budaya dan harmoni alam yang dulu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Nusantara. Lagu ini tak hanya bicara soal budaya yang memudar, tetapi juga menyoroti bagaimana kehidupan yang dulu seimbang kini tergantikan oleh keserakahan dan eksploitasi.
Lirik “Semua orang berlari mengejar mimpi, kata dan nadapun sumbang dan kehilangan arti” menggambarkan realitas hari ini, di mana pembangunan dan industrialisasi sering kali mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan keseimbangan alam. Di berbagai wilayah Indonesia, dari Kalimantan hingga Papua, hutan-hutan digunduli demi investasi tambang dan perkebunan sawit. Sumber daya alam dikuras atas nama pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan bagi generasi mendatang.
Utha Likumahuwa dalam lagunya juga menggambarkan keterasingan alam akibat ulah manusia: “Tinggal bumi nan terasing kering dan bising, lalu cinta membaur lara.” Bait ini seakan meramalkan masa kini, di mana alih fungsi lahan terjadi tanpa kendali. Sawah-sawah berubah menjadi kawasan industri, hutan menjadi lahan perkebunan monokultur, dan sungai tercemar limbah. Hasilnya, bumi yang dulu subur dan menyejukkan kini menjadi gersang, panas, dan kehilangan kehidupan aslinya.
Lirik “Kau persada tercinta langitmu keruh, mendung kelabu” merepresentasikan bencana ekologis yang semakin sering terjadi. Polusi udara akibat industri, kebakaran hutan yang disengaja untuk membuka lahan, serta emisi gas rumah kaca telah memperparah krisis lingkungan. Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan, melainkan realitas yang kita hadapi sekarang. Banjir, tanah longsor, dan krisis air bersih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi masyarakat kecil yang paling terdampak eksploitasi sumber daya.
“Fajar manakan cerah berpijar, menghangati kemegahan pertiwi” mengandung ironi mendalam. Jika di masa lalu fajar membawa harapan, kini fajar yang dinanti justru menyongsong negeri yang semakin kehilangan jati diri dan keseimbangan alamnya. Eksploitasi yang tidak terkendali menyebabkan konflik sosial antara masyarakat adat dan korporasi, serta menyingkirkan mereka dari tanah leluhurnya. Janji kesejahteraan yang sering diucapkan pemerintah dan pengusaha justru menjadi bumerang bagi mereka yang kehidupannya bergantung pada kelestarian alam.
Lagu ini juga menggambarkan redupnya kepedulian terhadap lingkungan dan budaya dalam bait: “Bila cinta meredup memudar, tiada lagi cita rasa di hati.” Cinta terhadap Tanah Air seharusnya berarti menjaga dan merawatnya, bukan mengeksploitasi hingga kering kerontang. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa keserakahan lebih dominan daripada kecintaan terhadap negeri. Para penguasa dan pemodal sering kali mengabaikan dampak jangka panjang dari eksploitasi sumber daya, menjadikan Indonesia hanya sebagai lahan untuk dikeruk habis-habisan.
“Bila cinta bukan mesti memiliki, lalu mengapa ia harus bersemi?” Baris ini menyentuh aspek filosofis dari relasi manusia dengan alam. Alam tidak untuk dimiliki secara absolut, melainkan untuk dihormati dan dikelola secara berkelanjutan. Sayangnya, eksploitasi yang terjadi justru mencerminkan pandangan bahwa alam hanya bernilai jika bisa diubah menjadi uang. Logika kapitalisme ekstraktif yang rakus telah membuat cinta terhadap bumi menjadi sekadar retorika kosong.
Di akhir lagu, lirik “Kini pertiwi terpencil sunyi, menyongsong fajar berseri, laksana titik api di malam sepi” mengandung harapan sekaligus keprihatinan. Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit, untuk mengembalikan keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Namun, harapan itu hanya akan terwujud jika ada kesadaran kolektif untuk menghentikan eksploitasi berlebihan dan mengedepankan keberlanjutan.
Tembang Pribumi adalah pengingat bahwa Indonesia bukan sekadar tanah yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Lagu ini menegaskan bahwa ketika budaya dan alam kehilangan makna, maka kita sedang menuju kehancuran. Sudah saatnya kita mengembalikan harmoni yang hilang, bukan dengan retorika belaka, tetapi dengan tindakan nyata untuk menjaga warisan yang seharusnya kita lestarikan.