Selat Hormuz Ditutup, Apa Dampaknya bagi Ekonomi Dunia?

Amerika Serikat dan Donald Trump boleh saja menepuk dada dengan bangga setelah mengebom Iran dengan pesawat siluman Northrop Grumman B-2 Spirit. Namun, Iran juga punya senjata lain yang tak kalah ampuh: Selat Hormuz.

Merespons serangan tak terduga AS terhadap tiga situs nuklir Iran, Fordow, Natanz, dan Espahan, pada Sabtu (21/6) lalu, Iran kemungkinan akan melakukan serangan balasan. Salah satunya, menutup akses Selat Hormuz.

Tindakan itu sangat mungkin terjadi. Parlemen Iran telah menyetujui rencana penutupan Selat Hormuz, Minggu (22/6). Meski begitu, keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional, lembaga yang berfungsi sebagai otoritas tertinggi dalam urusan keamanan nasional.

Namun, jika Selat Hormuz jadi ditutup, apa dampaknya bagi ekonomi dan geopolitik dunia?

Selat Hormuz, yang terletak di antara Oman dan Iran, menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Selat ini cukup dalam dan cukup lebar untuk dilalui kapal tanker minyak. Selat ini juga menjadi salah satu jalur minyak yang paling penting di dunia. Volume minyak yang melalui selat ini cukup besar, dan nyaris tidak ada jalur alternatif jika selat ini sampai tertutup.

Pada 2024, aliran minyak melalui Selat Hormuz rata-rata mencapai 20 juta barel per hari (b/d), atau sekitar 20 persen dari konsumsi minyak dunia. Pada kuartal pertama 2025, aliran minyak lewat selat ini masih relatif stabil; angkanya tak berbeda jauh dengan tahun 2024.

Gambar yang memperlihatkan lalu lintas laut yang padat melewati Selat Hormuz yang sempit di antara Oman dan Iran, menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab. Kredit: Marinetraffic.com

Sebagai contoh, meskipun belum ada ada hambatan nyata terhadap lalu lintas maritim di Selat Hormuz, terutama setelah memanasnya konflik Israel versus Iran, harga minyak mentah Brent (patokan harga global) sudah naik dari 69 dollar per barel pada 12 Juni menjadi 74 dollar per barel pada 13 Juni lalu. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Selat Hormuz dalam menjaga pasokan minyak global.

Apa itu titik sempit (chokepoint)?

Chokepoint adalah jalur laut sempit yang terletak di jalur pelayaran global utama dan sangat penting bagi keamanan energi dunia. Jika minyak tidak bisa lewat chokepoint, meskipun hanya bersifat sementara, itu bisa menyebabkan keterlambatan pasokan besar, menaikkan biaya pengiriman, dan mendorong kenaikan harga energi dunia.

Sebagian besar chokepoint memang bisa dihindari dengan jalur alternatif—meskipun biasanya lebih lama dan mahal—tapi ada juga chokepoint yang sangat sulit dicarikan alternatifnya. Nah, untuk Selat Hormuz, sebagian besar transportasi minyak mentah yang melewatinya tidak punya alternatif lain untuk keluar dari kawasan. Meskipun ada beberapa pipa yang bisa digunakan untuk menghindari selat ini.

Data minyak mentah yang melalui selat Hormuz. Kedit: Reuters

Tren aliran minyak

Sepanjang 2022 dan 2024, volume minyak mentah dan kondensat yang melewati Selat Hormuz turun sebesar 1,6 juta barel per hari. Penurunan ini sebagian dikompensasi oleh kenaikan 0,5 juta barel per hari dari kargo produk minyak. Penurunan ini sebagian juga dipicu oleh keputusan OPEC+ untuk memangkas produksi minyak secara sukarela beberapa kali sejak November 2022, hingga menurunkan ekspor dari Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab (UEA).

Selain itu, pada 2024, terjadi gangguan aliran minyak di sekitar Selat Bab al-Mandeb—jalur yang menghubungkan Laut Arab dengan Laut Merah. Akibatnya, perusahaan minyak nasional Arab Saudi, Aramco, mengalihkan aliran minyak dari laut ke darat lewat pipa East-West menuju pelabuhan di Laut Merah.

Tambahan kapasitas kilang di negara-negara Teluk juga meningkatkan permintaan minyak mentah di dalam kawasan dan mengalihkan sebagian aliran minyak ke pasar lokal di Teluk Persia.

Aliran minyak melalui Selat Hormuz pada 2024 dan kuartal pertama 2025 menyumbang lebih dari seperempat dari total perdagangan minyak global lewat laut, dan sekitar seperlima dari konsumsi minyak dan produk minyak dunia. Selain itu, sekitar seperlima dari perdagangan gas alam cair (LNG) dunia juga melewati Selat Hormuz pada 2024, terutama berasal dari Qatar.

Data minyak mentah yang diangkut lewat selat Hormuz. Kredit: US Energi Information Administration (EIA)

Siapa pengirim terbesar?

Berdasarkan data pelacakan kapal tanker dari Vortexa, Arab Saudi adalah negara yang paling banyak mengirim minyak mentah dan kondensat lewat Selat Hormuz. Pada 2024, ekspor minyak mentah dan kondensat dari Arab Saudi menyumbang 38 persen dari total aliran minyak mentah di Hormuz (setara 5,5 juta barel per hari).

Jalur alternatif

Arab Saudi dan UEA memiliki infrastruktur yang memungkinkan untuk menghindari Selat Hormuz, yang bisa membantu mengurangi dampak gangguan pasokan jika terjadi. Pipa-pipa ini biasanya tidak beroperasi penuh, dan diperkirakan sekitar 2,6 juta barel per hari kapasitas dari pipa milik Arab Saudi dan UEA bisa digunakan untuk melewati Selat Hormuz jika terjadi gangguan.

Arab Saudi mengoperasikan pipa minyak East-West dengan kapasitas 5 juta barel per hari, dari pusat pengolahan minyak Abqaiq dekat Teluk Persia ke Pelabuhan Yanbu di Laut Merah. Pada 2019, Aramco sempat meningkatkan kapasitas pipa ini menjadi 7 juta barel per hari dengan mengubah sebagian pipa gas cair agar bisa mengangkut minyak mentah. Pada 2024, Arab Saudi memompa lebih banyak minyak lewat pipa East-West untuk menghindari gangguan pengiriman di sekitar Selat Bab al-Mandeb.

Uni Emirat Arab (UEA) juga punya pipa yang melewati Selat Hormuz. Pipa dengan kapasitas 1,8 juta barel per hari ini menghubungkan ladang minyak darat ke terminal ekspor Fujairah di Teluk Oman. Pada 2024, volume minyak mentah dan kondensat dari UEA yang melewati Hormuz berkurang 0,4 juta barel per hari dibanding 2022, karena peningkatan kapasitas kilang memungkinkan UEA mengolah lebih banyak minyak berat di dalam negeri. Peningkatan ini juga membuat UEA bisa mengekspor lebih banyak minyak ringan, dan penggunaan pipa menuju Fujairah pun meningkat. Tapi, karena sekarang pipa ini lebih sering digunakan untuk operasional harian, kapasitas cadangan untuk mengalihkan aliran tambahan menjadi terbatas.

Bagaimana dengan Iran?

Iran meresmikan pipa Goreh-Jask dan terminal ekspor Jask di Teluk Oman (yang tidak lewat Selat Hormuz) dengan pengiriman pertama pada Juli 2021. Kapasitas efektif pipa ini sekitar 300.000 barel per hari. Namun, selama musim panas 2024, Iran hanya mengekspor kurang dari 70.000 barel per hari dari pelabuhan Bandar-e-Jask dan Kooh Mobarak lewat pipa ini, dan berhenti mengirim kargo setelah September 2024.

Ke mana negara tujuan minyak dari selat Hormuz?

Diperkirakan 84 persen dari minyak mentah dan kondensat, serta 83 persen gas alam cair yang lewat Selat Hormuz pada 2024, dikirim ke pasar Asia. Negara tujuan utama untuk minyak mentah yang lewat Hormuz adalah Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan. Keempat negara ini menyerap 69 persen dari semua aliran minyak mentah dan kondensat lewat Hormuz tahun itu. Jadi, pasar Asia inilah yang kemungkinan akan paling terdampak jika terjadi gangguan pasokan di Hormuz.

Pada 2024, Amerika Serikat (AS) hanya mengimpor sekitar 0,5 juta barel per hari minyak mentah dan kondensat dari negara-negara Teluk Persia lewat Selat Hormuz. Angka ini mencakup sekitar 7 persen dari total impor minyak mentah AS dan hanya sekitar 2 persen dari konsumsi produk minyak di AS. Impor minyak mentah dari Teluk Persia ke AS tahun itu adalah yang terendah dalam hampir 40 tahun, karena produksi domestik dan impor dari Kanada terus meningkat.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Bung Hatta dan Tan Malaka: Bertemu di Berlin, Berseberangan di Jalan Revolusi

Bung Hatta dan Tan Malaka: Bertemu di Berlin, Berseberangan di Jalan Revolusi

Bung Hatta menyanggupi permintaan itu

You May Also Like
Total
0
Share