Raja Ampat di Persimpangan Jalan: Pariwisata vs Tambang Nikel

Raja Ampat, surga tersembunyi di Papua Barat Daya, dikenal dunia akan keindahan alam bawah lautnya yang memesona. Namun, di balik pesona wisata bahari yang mendunia ini, ancaman serius mengintai: tambang nikel. Eksploitasi sumber daya alam ini mengancam keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan generasi mendatang.

Aktivitas penambangan di Pulau Kawei, Waigeo Barat, telah meninggalkan bekas yang nyata. Perbukitan tergusur, air sungai berubah warna menjadi kuning keruh, menodai keindahan alam yang selama ini menjadi daya tarik utama Raja Ampat. Padahal, wilayah ini merupakan bagian dari Coral Triangle, rumah bagi lebih dari 1.500 spesies ikan dan 600 spesies karang. Kekayaan hayati yang luar biasa ini kini terancam oleh praktik penambangan yang tidak berkelanjutan.

Dugaan keterlibatan pejabat publik dalam praktik korupsi terkait penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) semakin memperparah masalah. Lemahnya pengawasan dari Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK menciptakan celah bagi praktik-praktik ilegal ini.

Kondisi salah satu pulau di Raja Ampat. Kredit: Dok Penulis/MVM

Ketergantungan fiskal daerah pada Dana Otonomi Khusus (Otsus) juga menjadi faktor pendorong eksploitasi sumber daya alam demi pendapatan jangka pendek. Pemerintah daerah tergoda untuk mengorbankan keberlanjutan lingkungan demi keuntungan ekonomi sesaat.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada awal 2000-an, jumlah IUP di Raja Ampat meningkat signifikan, terutama untuk nikel dan emas. Data menunjukkan lebih dari 15 IUP aktif beroperasi, sebagian besar tanpa kajian lingkungan yang memadai. Hal ini menunjukkan lemahnya tata kelola lingkungan dan kurangnya perencanaan pembangunan berkelanjutan.

Papua Barat Daya, termasuk Raja Ampat, sangat bergantung pada dana Otsus yang bersifat periodik. Ketergantungan ini menciptakan tekanan ekonomi yang memaksa pemerintah daerah mencari pendapatan alternatif, meskipun berdampak buruk pada lingkungan. Rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), hanya 12 persen dari total anggaran daerah pada 2022, semakin memperburuk situasi.

Kondisi pulau di Raja Ampat. Kredit: Dok penulis

Di sisi lain, ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dalam penerbitan IUP, serta minimnya partisipasi masyarakat, menciptakan ruang bagi praktik korupsi dan eksploitasi yang merajalela. Sistem pelaporan publik yang lemah semakin memperkuat problem ini.

Raja Ampat kini berada di persimpangan jalan. Keindahan alamnya yang luar biasa terancam oleh ambisi ekonomi jangka pendek. Reformasi tata kelola sumber daya alam yang menyeluruh menjadi kunci penyelamatan. Tindakan tegas terhadap pelanggaran hukum, peningkatan transparansi, dan penguatan kapasitas fiskal dan kelembagaan daerah sangat diperlukan. Hanya dengan pendekatan holistik dan kolaboratif antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat sipil, dan komunitas lokal, Raja Ampat dapat diselamatkan dari ancaman kehancuran ekologis dan menjadi model keberlanjutan bagi wilayah lain di Indonesia.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Mantan Buruh Pabrik Jadi Presiden Korsel

Mantan Buruh Pabrik Jadi Presiden Korsel

Krisis politik di Korea Selatan (Korsel), yang bermula sejak awal Desember 2024

Next
Bagaimana Aristoteles bisa Menyelamatkan Kita?

Bagaimana Aristoteles bisa Menyelamatkan Kita?

Pada tahun 1995, dalam sebuah pidato berjudul “Visions for the 21st

You May Also Like
Total
0
Share