Politik Radikal Oscar Wilde

Kalau kamu cuma kenal Oscar Wilde sebagai komedian dan cerpenis nyeleneh yang suka nge-roasting kaum elite Inggris zaman Victoria, berarti kamu baru kenal permukaannya doang.

Di balik sarkasme dan punchline-nya yang tajam, Wilde sebenarnya lagi ngajak kita mikir soal pertanyaan mendasar: gimana caranya jadi manusia seutuhnya di dunia yang makin absurd dan gak adil ini?

Ini bukan basa-basi. Di tahun 1891, Wilde nulis esai “The Soul of Man Under Socialism”, karya yang nyaris tenggelam di lautan skandal hidupnya, tapi justru jadi peta jalan menuju kebebasan sejati. Dan di situ lahir kutipan legendaris yang hari ini berseliweran di caption Instagram: “To live is the rarest thing in the world. Most people exist, that is all (Hidup itu hal paling langka di dunia ini. Kebanyakan orang cuma sekadar ada, itu doang).”

Anak revolusi sejak lahir

Wilde gak lahir dari keluarga biasa. Bokapnya, Sir William Wilde, adalah dokter top yang mendapat gelar bangsawan Inggris. Tapi nyokapnya, Jane Wilde alias Speranza, malah melawan arah. Dia penyair dan aktivis garis keras yang memimpin Irlandia untuk bebas dari Inggris. Bayangin kamu lahir di rumah yang tiap harinya debat soal kemerdekaan, keadilan sosial, sampai hak perempuan.

Dari kecil, Wilde udah dicekokin semangat revolusi gerakan Young Ireland, geng militan yang terinspirasi pemberontakan muda-mudi di Eropa. Buat Wilde kecil, pejuang 1848 itu kayak superhero pribadi. Ibarat anak sekarang ngefans sama Taylor Swift, Wilde ngefans sama revolusioner kelaparan yang siap mati demi tanah air.

Tur Ke Amerika

Tahun 1881, Wilde keliling Amerika. Harusnya ceramah soal estetika, tapi audiens malah penasaran karena dia anaknya Speranza. Nah, di sinilah Wilde bikin blunder. Demi mendapat simpati, dia muji-muji Konfederasi—yang ironisnya adalah pembela perbudakan. Dia anggap perjuangan Selatan mirip perjuangan Irlandia lawan Inggris.

Di sini keliatan banget Wilde masih belajar soal politik identitas. Dia berpikir semua yang anti-imperialis pasti keren. Padahal, kebebasan satu kelompok (orang kulit putih Selatan) dibangun di atas penderitaan manusia lainnya (budak kulit hitam). Ini kayak refleksi awal tentang bahaya sempitnya narasi perjuangan, sesuatu yang hari ini masih relevan banget.

Dari media feminis ke anarkisme

Balik ke London, Wilde jadi editor majalah The Woman’s World. Isinya bukan gosip seleb, tapi gagasan-gagasan liar soal hak perempuan, kesetaraan, sampai dekonstruksi peran gender. Wilde sadar, patriarki bukan cuma membikin cewek menderita, tapi bikin seluruh masyarakat stuck di pola pikir kolot dan puritan. Di sini Wilde mulai membuka mata: sosialisme tanpa feminisme itu ompong.

Di sinilah Wilde kenal sama George Bernard Shaw dan Fabian Society. Tapi makin lama, Wilde justru jatuh cinta sama ide-ide anarkisme ala Peter Kropotkin. Buat Wilde, masalah utamanya bukan sekadar gaji kecil atau hak pilih, tapi sistem yang mengubah manusia menjadi mesin produksi. Kalau kepemilikan pribadi dihapus, manusia gak perlu lagi hidup buat menumpuk harta. Kita bisa hidup untuk sesuatu yang lebih bermakna.

Sosialisme ala Wilde

The Soul of Man Under Socialism bukan manifesto klasik ala Karl Marx. Wilde gak peduli sama revolusi industri atau kontrol buruh atas pabrik. Buat dia, akar masalahnya adalah: kita gak punya waktu buat jadi diri sendiri. Semua energi diperas buat membayar sewa, cicilan, atau sekadar survive.

Wilde menulis, “Dengan menghapus kepemilikan pribadi, kita baru bisa menemukan individualisme sejati. Gak ada lagi yang buang-buang waktu buat ngejar status sosial. Orang akhirnya bisa bener-bener hidup.” Itu makanya dia juga benci gerakan amal. Buat Wilde, gerakan amal cuma plester menutupi luka kapitalisme. Yang dibutuhkan bukan kebaikan hati dan kedermawanan, tapi sistem yang adil dari akarnya.

Penjara dan kematian

Sayangnya, dunia belum siap dengan pemikiran visioner Wilde. Tahun 1895, dia dijebloskan ke penjara karena hubungan sesama jenisnya dengan Lord Alfred Douglas. Lima hari setelah vonis, esai radikalnya malah diterbitkan. Ini kayak pesan keras ke dunia: kamu boleh mengurung badannya, tapi idenya udah gak bisa dihentikan.

Di penjara, Wilde menulis “De Profundis”, surat curhat sekaligus refleksi spiritual. Di situ Wilde sadar, kebebasan sejati bukan cuma soal politik atau ekonomi, tapi soal berani jujur sama diri sendiri, bahkan di depan maut.

Warisan yang hidup lagi

Wilde meninggal miskin di Paris tahun 1900. Tapi sahabat sekaligus mantannya, Robbie Ross, berhasil memastikan karya-karya Wilde gak tenggelam. Hari ini Wilde gak cuma dipuja sebagai penulis lucu, tapi sebagai ikon perlawanan queer, feminis, anarkis, sekaligus spiritualis modern.

Dan yang paling menarik, Wilde ngajarin kita satu hal: hidup bukan tentang ngikutin template yang disiapin sistem. Bukan soal kerja 9 to 5, beli rumah KPR, nikah di pelaminan megah, lalu pensiun. Hidup, kata Wilde, adalah soal menemukan suara kamu sendiri di tengah kebisingan dunia.

Jadi, pertanyaannya: kamu udah bener-bener hidup, atau cuma eksis doang?

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Seni, Sensor, dan Kembalinya Bayang-bayang Orde Baru

Seni, Sensor, dan Kembalinya Bayang-bayang Orde Baru

Pelarangan pameran seni di Galeri Nasional dan intimidasi terhadap lagu Bayar

Next
Belajar dari Sritex: Segera Perkuat Industri Nasional

Belajar dari Sritex: Segera Perkuat Industri Nasional

Nasi sudah menjadi bubur, Sritex tutup dan buruh terkena palu godam PHK

You May Also Like
Total
0
Share