Pemerintahan Baru dan Momen Krisis

Dalam dua bulan ke depan, Indonesia akan punya pemerintahan baru. Prabowo dan Gibran Rakabumi, yang sudah ditetapkan KPU sebagai pemenang Pemilu 2024, akan dilantik pada bulan Oktober nanti.

Pertama, rezim baru ini akan memegang kekuasaan yang legitimasinya sudah tergerus oleh berbagai proses politik bermasalah, mulai dari pelanggaran etika di Mahkamah Konstitusi (MK), dugaan kecurangan pemilu, pembentukan KIM plus yang menyempitkan ruang oposisi, dan upaya menganulir putusan MK soal Pilkada.

Meskipun nanti Prabowo-Gibran berhasil merangkul mayoritas partai-partai pendukung 01 dan 03, tetapi itu hanya akan mempersatukan elit. Sementara di bawah, polarisasi politik di masyarakat akan tetap menajam. 

Meskipun potensi oposisi di parlemen mengecil, dan kemungkinan hanya menyisakan PDIP dan PKS sebagai oposisi, tetapi masyarakat sipil yang dimotori oleh akademisi, aktivis, dan kelas menengah kritis berpotensi menghadirkan blok oposisi yang kuat.

Kedua, Rezim baru ini akan mewarisi ruang fiskal yang sangat terbatas. Padahal, kemampuan rezim baru untuk merealisasikan janji politik sekaligus menjaga stabilitas adalah dukungan anggaran.

Rezim Jokowi mewariskan utang yang sangat besar. Per November 2023, total utang pemerintah mencapai Rp 8.041 triliun. Di bawah Jokowi (2014-2023), utang negara bertambah Rp 5.432 triliun, lebih besar dua kali lipat dibanding total utang enam presiden pendahulunya selama 70 tahun.

Selama ini, yang digembor-gemborkan seolah-olah sebagai juru selamat adalah rasio utang terhadap PDB. Per 2023, rasio utang terhadap PDB hanya 38,59 persen, jauh dari batas berbahaya yang ditetapkan sebesar 60 persen.

Namun, tak pernah diungkit terbuka bahwa tumpukan utang itu berkontribusi pada membesarnya porsi pembayaran bunga dan cicilan utang. Pada 2023, untuk pertama kalinya dalam sejarah, porsi pembayaran bunga utang menduduki porsi belanja tertinggi dalam komponen belanja pemerintah pusat. Tahun itu, total belanja bunga utang mencapai Rp 437,4 triliun (19,5 persen dari total belanja APBN Rp 2.240,6). Angka itu lebih tinggi dari belanja modal.

Pada 2024, porsi belanja utang ditargetkan sebesar Rp 497,3 triliun atau 20,3 persen dari total belanja pemerintah pusat. Bayangkan, seperlima dari belanja APBN hanya dipakai untuk membayar bunga utang. 

Selain itu, kita juga bisa melihat rasio bunga dan cicilan pokok pinjaman terhadap pendapatan negara (debt service ratio/DSR), yang pada 2020 mencapai 46,7 persen. Artinya, 46,7 persen dari pendapatan negara harus digunakan untuk membayar bunga dan cicilan utang. 

Memang, pada 2023, DSR turun menjadi 38 persen. Namun, harus diingat, sepanjang 2015-2023, DSR meningkat jauh melebihi pendapatan negara. DSR tumbuh rata-rata 13,7 persen per tahun, sementara pendapatan hanya 7,08 persen per tahun. Artinya, total pembayaran cicilan dan bunga utang tumbuh lebih cepat dari pendapatan negara.

Peningkatan porsi pembayaran bunga dan cicilan utang akan mempersempit ruang fiskal pemerintahan mendatang. Di sisi lain, harapan untuk menaikkan penerimaan pajak juga kecil. Prabowo-Gibran tidak punya gebrakan radikal untuk memaksimalkan penerimaan pajak, seperti merombak lapisan (layer) dan tarif pajak penghasilan, menerapkan pajak kekayaan, pajak rezeki nomplok (windfall tax), dan lain-lain.

Sementara Jokowi selama dua periode, dengan gebrakan tax amnesty berjilid-jilid, rasio pajak terhadap PDB tidak pernah tembus 11 persen. Bahkan, dari 2017 hingga 2021, rasio pajak hanya single digit.

Di sisi lain, Prabowo-Gibran membutuhkan anggaran besar untuk membiayai janji politiknya. Misalnya, anggaran makan siang gratis yang diperkirakan Rp 450 triliun, dua kali lebih besar dari anggaran kesehatan di APBN 2024 yang hanya Rp 187,5 triliun.

Prabowo-Gibran juga membawa gerbong besar, yang juga membutuhkan biaya kompensasi politik yang juga besar. Dengan gerbong politik yang sangat besar, apalagi jika juga merangkul parpol pendukung paslon 01 dan 03, maka kompensasi politiknya membutuhkan birokrasi yang gendut dan pembiayaan yang juga sangat besar.

Ketiga, berakhirnya era booming komoditas. Tahun 1998, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hingga minus 13,13 persen. Namun, pada 2000 hingga 2014, dewa penyelamat muncul: booming komoditas.

Sebagai negara yang bergantung pada ekstraktivisme, booming komoditas adalah rezeki nomplok. Diselamatkan oleh ekspor komoditas, ekonomi Indonesia bisa cepat pulih. Puncaknya, pada 2007 hingga 2012, ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 6 persen (pengecualian pada 2009 karena dampak krisis ekonomi global), tertinggi sejak pasca reformasi. 

Namun, sejak 2014 dengan naiknya Jokowi bersamaan dengan berakhirnya booming komoditas, pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 5 persen. Situasi ini yang mendorong Jokowi untuk banting stir dari ketergantungan pada ekspor bahan mentah menjadi hilirisasi.

Keempat, dunia memasuki tahun 2024 dengan bayang-bayang perlambatan ekonomi. Selain konflik Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok global, perlambatan ekonomi Tiongkok dan ancaman resesi yang mengintai banyak negara berpotensi mengganggu ekonomi Indonesia.

Kelima, ketimpangan ekonomi yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling timpang di dunia (OXfam, Credit Suisse). Pada 2016, Credit Suisse menempatkan Indonesia peringkat ke-4 paling timpang di dunia. Saat itu, 1 persen terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan.

Selain kekayaan, ketimpangan yang berbahaya juga pada penguasaan aset, termasuk tanah. Rasio gini kepemilikan tanah pada 2013 mencapai 0,68. Sebelumnya, pada 2003, rasio gini kepemilikan tanah mencapai 0,72. Itu berarti 1 persen penduduk menguasai sekitar 72 persen aset berupa tanah.

Ketimpangan juga terlihat dalam skala usaha. Kelompok usaha besar yang berjumlah 5.550 unit usaha atau 0,01 persen total unit usaha memiliki aset rerata senilai di atas Rp 10 miliar. Sementara kelompok skala UMKM yang berjumlah 63.350.222 unit usaha (98,68 persen) memiliki total kekayaan rerata sebesar di bawah atau sama dengan Rp 50 juta.

Ketimpangan ini bukan hanya persoalan ketidakadilan, tetapi juga menghambat kemajuan ekonomi dan berpotensi menyulut guncangan sosial.

Persoalan terbesar lainnya adalah perubahan iklim. Selain membawa ancaman bencana alam, perubahan iklim juga akan berdampak pada pasokan pangan global.

Kelihatannya, rezim baru sudah menyadari potensi momen krisis itu dan sudah menyiapkan: memastikan stabilitas politik. Karena itu, ada wacana membangun koalisi politik permanen dengan merangkul sebanyak-banyaknya partai politik, termasuk parpol pendukung paslon 01 dan 03.

Koalisi politik permanen ini tak hanya di level pusat, tetapi juga akan didorong ke daerah. Koalisi politik permanen itu akan diuji coba di Pilkada pada November mendatang.

Persoalanya, dengan karakter partai politik yang top-down dengan orientasi yang sangat pragmatis (kontrol terhadap kekuasaan dan akses terhadap sumber daya), mungkinkah koalisi yang bersifat permanen itu bisa terwujud? 

Momen Krisis

Sejak krisis ekonomi global-2007-08, neoliberalisme mulai diragukan sebagai jawaban atas persoalan-persoalan ekonomi dan kemajuan peradaban. Ketimpangan ekonomi menghampar di seantero dunia. “Laissez-faire sudah selesai,” kata Presiden Perancis kala itu, Nicolas Sarkozy.

Pada 2020, 50 persen orang termiskin di dunia hanya menguasai 2 persen dari kekayaan global, sementara 10 persen terkaya menguasai 76 persen kekayaaan. Ketimpangan ini telah menjadi bahan bakar bagi gejolak politik di berbagai belahan dunia sekaligus membangunkan politik populis kanan.

Francis Fukuyama, sang penulis The End of History and the Last Man, 1992, sampai mengakui, “ide bahwa pasar yang tidak diatur akan memberi manfaat justru telah membawa bencana.” 

Puncaknya saat pandemi covid-19. Mekanisme pasar bukan hanya tak efektif, bahkan kocar-kacir, ketika merespon kebutuhan mendesak sistem kesehatan saat pandemi. Walhasil, negara pun dipanggil turun tangan. Bahkan, gagasan yang dianggap sudah mati, yakni nasionalisme, dibangunkan kembali untuk membangung pagar pembatas kepentingan nasional masing-masing.

Bersamaan dengan kegagalan neoliberal, demokrasi liberal juga mengalami krisis. Tingkat kepuasan terhadap demokrasi minimalis (pemilu regular, kebebasan sipil, kebebasan pers, supremasi hukum, dll) semakin merosot. 

Kecuali di negara-negara yang relatif makmur dan tingkat korupsinya rendah, seperti Swedia, Jerman, Belanda, dan Singapura, tingkat kepuasan terhadap demokrasi di banyak negara berada di bawah 50 persen. 

Survei Pew Research Centre pada 2022 menemukan, tingkat kepuasan terhadap demokrasi di kalangan masyarakat Amerika Serikat, negeri yang kerap menjadi simbol dari kampiun demokrasi, hanya 38 persen. Di Perancis, tempat revolusi demokratik pertama meletus, tingkat kepuasan terhadap demokrasi hanya 44 persen. 

Di Indonesia, krisis neoliberal hadir lebih terang-benderang lagi: deindustrialisasi, ketimpangan ekonomi, jatuhnya tingkat kesejahteraan, hingga bangkitnya populisme kanan.

Di bawah Jokowi, neoliberalisme tidak mati, misalnya tampak pada agenda deregulasi dan privatisasi layanan publik. Namun, di bawah Jokowi, kapitalisme negara juga tampak mengambil peran lewat menguatnya peran BUMN. 

Mungkin, ada pertanyaan: mengapa popularitas Jokowi sangat tinggi, bahkan pernah di atas 80 persen, merupakan yang tertinggi di dunia dan tertinggi dalam sejarah Indonesia?

Tingkat kepuasan (presidential approval rating) Jokowi disumbang oleh beragam faktor. Namun, menurut saya, ada dua faktor yang dominan: pertama, keberhasilan Jokowi mengendalikan inflasi. Dari 2015 hingga 2021, rata-rata inflasi hanya di angka 3 persen. Bahkan pernah di angka 1,68 persen pada 2020,  terendah dalam sejarah.

Penjelasan ini sangat masuk akal. Ada banyak kajian dan riset yang menunjukkan kelindan antara situasi ekonomi dan approval rating pemerintahan (Henry c. Kenski, 1977; Kristen R. Monroe, 1978, George Edwards, 1985).

Kedua, absennya oposisi di parlemen setelah Jokowi berhasil merangkul Prabowo dan partai-partai oposisi. Di parlemen, koalisi pemerintah menguasai 471 kursi parlemen atau 81,9 persen kursi DPR. Hanya ada dua partai oposisi di parlemen, yaitu Demokrat dan PKS.

Absennya oposisi bukan hanya melemahkan check and balance, tetapi juga absennya narasi tandingan terhadap berbagai kebijakan pemerintah. 

Namun, approval rating itu sangat rapuh, sangat gampang goyah oleh gejolak ekonomi. Terutama perubahan yang signifikan terhadap harga kebutuhan pokok dan biaya hidup.

Rezim Prabowo akan berhadapan dengan situasi ekonomi yang lebih pelit dari Jokowi: ruang fiskal yang sangat terbatas, gejolak harga pangan, dan ancaman resesi ekonomi global. 

Sebetulnya, Indonesia hari ini sedang memasuki “momen krisis” yang mendekati “interregnum”, istilah yang dipopulerkan oleh Gramsci, yaitu kondisi ketika rezim berkuasa mengalami krisis hegemoni, namun kekuatan baru yang hendak menggantikan belum muncul.

Ini sebetulnya menyediakan “momen populis”. Hanya saja, dalam konteks Indonesia, momen populis ini dimanfaatkan oleh kelompok sayap kanan jauh (far-right). Mereka yang relatif terorganisasi dan terkonsolidasi. Ini yang memungkinkan mereka sering hadir dalam sejumlah momen politik, seperti Pilkada DKI Jakarta.

Sementara kelompok kiri dan liberal belum memainkan peran yang signifikan. Gerakan yang berbasis buruh terdampak oleh deindustrialisasi dan massifnya precarious work (sistem kerja kontrak dan outsourcing). Gerakan buruh juga juga masih terbelenggu dalam “labour puritanism”, anggapan yang memisahkan perjuangan serikat buruh untuk hak-hak normatif dengan perjuangan politik.

Gerakan yang lain (mahasiswa, miskin kota, petani, LSM, masyarakat adat, dll) juga terfragmentasi dan hanya bertindak reaktif terhadap situasi yang ada.

Sementara kelompok liberal terjebak dalam pendekatan institusional dalam mengatasi berbagai persoalan kebangsaan hari ini, seperti good governance, pengembangan kapasitas, clean government, dll. 

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Bagaimana Aktivis Mahasiswa Mengubah Wajah Politik Chile?

Bagaimana Aktivis Mahasiswa Mengubah Wajah Politik Chile?

Dua dekade pascareformasi 1998, wajah politik Indonesia tak banyak berubah

Next
Pemilu 2024: Pertandingan Yang Tak Adil

Pemilu 2024: Pertandingan Yang Tak Adil

Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, baru saja menyelenggarakan

Total
0
Share