Di antara deru lalu lintas Salemba dan sibuknya kawasan Kenari, aku tidak menyangka akan menemukan oase setenang ini. Dari luar, bangunan tua bercat putih dengan pilar-pilar kokoh itu seolah berbisik mengajakku melarikan diri sejenak dari hiruk pikuk Jakarta. Inilah dia, Museum Mohammad Hoesni Thamrin, sebuah hiddem gem yang tersembunyi di Jalan Kenari 2, Jakarta Pusat.
Bagi traveler yang gandrung dengan sejarah, tempat ini seperti kilau permata. Bukan museum megah dengan koleksi ribuan artefak, melainkan sebuah kapsul waktu yang intim dan personal. Begitu melangkah masuk melewati pintu kayu tinggi, hawa Jakarta yang panas seolah tertinggal di luar. Suasananya hening, hanya ada suara langkah kaki kita di lantai tegel kuno. Rasanya seperti bertamu ke masa lalu.

Bertamu di “rumah pergerakan”
Museum ini menempati sebuah gedung bersejarah yang dulunya milik seorang Belanda bernama Meneer De Hass. Konon, gedung ini dipakai sebagai gudang penyimpanan buah-buahan dan pemotongan hewan.
Pada 1927, Mohammad Hoesni Thamrin atau MH Thamrin membeli gedung ini untuk dijadikan markas kaum pergerakan. Tepatnya menjadi markas besar Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).

Federasi organisasi pergerakan nasional ini didirikan pada 1927, dengan MH Thamrin sebagai salah satu tokoh sentralnya. Jadi, bisa dibilang, setiap sudut gedung ini adalah saksi bisu dari rapat-rapat penting, diskusi panas, dan pembahasan strategi perjuangan para pendiri bangsa.
Gedung ini pernah menjadi saksi sejarah yang sangat penting. Salah satunya, tempat pembentukan Gabungan Politik Indonesia (GAPI), sebuah aliansi politik luas dari hampir semua organisasi pergerakan pada akhir 1930-an.
Di bagian depan museum, patung MH Thamrin berdiri gagah menyambut setiap tamu. Begitu memasuki ruang depan museum, panel-panel informasi dan foto-foto hitam putih mulai bercerita. Di sinilah aku berkenalan lebih dekat dengan sosok MH Thamrin.
Siapa dia? Mohammad Hoesni Thamrin adalah anomali pada masanya. Lahir dari keluarga ningrat dengan darah Belanda dari kakeknya, ia justru memilih jalan terjal untuk membela kaum pribumi. Ia adalah “anak Betawi” yang berhasil menembus parlemen Hindia Belanda, Volksraad.

Di Volksraad, Thamrin bukanlah politisi yang manis. Ia adalah suara lantang bagi rakyat jelata. Bayangkan, di tengah para pejabat Belanda dan bangsawan pribumi yang kooperatif, ia berani mengkritik kebijakan pemerintah kolonial, memperjuangkan nasib para petani, dan menuntut perbaikan kampung-kampung kumuh di Batavia.
Nah, di museum ini, kita akan bertemu banyak jejak MH Thamrin. Mulai dari replika meja kerjanya, meja rias, lemari, blangkon, piring keramik, sepeda ontel, bahkan replika kereta. Kita juga akan melihat jejak perjuangan MH Thamrin lewat diorama-diorama.
Salah satu diorama itu adalah penggeledahan rumah MH Thamrin oleh serdadu Belanda. Hari itu, 10 Januari 1941, rumah MH Thamrin digedor paksa oleh segerombolan serdadu Belanda. Setelah merangsek masuk, serdadu itu mengobrak-abrik seisi rumah. Isi lemari berserakan tak karuan. Saat itu, sang “macan” Volksraad sedang terbaring sakit.

Sejak saat itu, Thamrin dikenai tahanan rumah. Keluarganya pun tidak bebas pergi. Komunikasi dengan dunia luar diputus sama sekali. Konon, tindakan Belanda itu didasari oleh aksi politik MH Thamrin yang sangat kritis di dalam Volksraad. Belanda juga curiga ia menjalin kerja sama dengan pihak Jepang.
Akhirnya, pahlawan yang punya kontribusi besar bagi sepak bola Indonesia ini meninggal dalam sunyi pada 11 Januari 1941. Proses pemakamannya diiringi puluhan ribu warga Jakarta. Jenazahnya diantar menggunakan kereta yang ditarik oleh dua kuda. Nah, replika kereta jenazah itu masih bisa kita saksikan di Museum MH Thamrin.
Salah satu koleksi favoritku adalah radio kuno merek Philips miliknya. Bayangkan, pada 1930-an, MH Thamrin mendekatkan telinganya di benda ini untuk menyimak informasi-informasi penting.
Selain menyajikan informasi dalam bentuk visual, Museum MH Thamrin juga menyajikan informasi dalam bentuk audio visual. Ada tayangan berbentuk audio visual di ruang tersebut, yang siap mengantarkanmu seolah-olah merasakan suasana di masa itu.
Selain itu, di dalam museum terdapat replika teras rumah yang identik dengan rumah adat Betawi. Ini seperti dirancang menjadi spot untuk berfoto yang cocok diunggah di medsos, loh.

Tips untuk traveler
Jika kalian mau berkunjung museum ini, lokasinya di Jalan Kenari 2 Nomor 15, Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Ada nomor telpon yang bisa dihubungi jika ingin bertanya lebih lanjut, di 021-3903387. Kamu juga bisa mengunjungi website ini untuk mencari tahu informasinya https://www.mitramuseumjakarta.id/mh-thamrin.
Museum ini tidak terlalu besar. Alokasikan waktu sekitar 1 hingga 1,5 jam untuk menikmati setiap sudutnya dengan santai.

Museum ini buka setiap Selasa hingga Minggu, dari pukul 09.00 hingga 16.00 WIB. Museum tetap buka pada hari libur dan tanggal merah.
Bila berkunjung, wisatawan cukup membayar tiket masuk dengan kartu JakCard. Tiketnya sangat murah, kok: dewasa Rp 5.000, mahasiswa Rp 3.000, anak-anak/pelajar Rp 2.000, rombongan (minimal 30 orang) dewasa Rp 3.750, rombongan mahasiswa Rp 2.250, dan
rombongan anak-anak/pelajar Rp 1.500.
Lokasi ini bisa diakses dengan angkutan umum, mulai dari TransJakarta (turun di Halte UI Salemba), KRL (turun di Stasiun Cikini), transportasi daring, maupun kendaraan pribadi. Area parkirnya bisa menampung sekitar 10 mobil minibus dan 20 unit motor. Sebisa mungkin, jangan datang dengan bus besar ya.
Terakhir, museum ini punya banyak fasilitas penunjang. Ada toilet, musala, auditorium, area parkir, dan fasilitas WiFi.
Meninggalkan museum sore itu, aku mendapatkan lebih dari sekadar foto atau pengetahuan. Aku mendapatkan perspektif. Di tengah Jakarta yang terus berlari kencang, ada sebuah tempat yang setia menjaga ingatan tentang seorang pahlawan yang berjuang dengan pena, suara, dan aksi. Jika kamu mencari pengalaman wisata sejarah yang berbeda, yang sunyi namun sarat makna, maka datanglah ke Museum MH Thamrin. Dijamin, kamu akan pulang dengan cerita dan inspirasi baru.