Mengapa Indonesia Butuh Kuliah Gratis

Di setiap panggung politik, dari rapat kabinet hingga kampanye pilpres dan pilkada, satu mantra sakti selalu diucapkan: “SDM unggul, Indonesia maju.” Pembangunan sumber daya manusia disebut sebagai prioritas, sebagai kunci emas menuju masa depan gemilang.

Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan melihat kenyataan di lapangan? Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 menunjukkan sebuah ironi yang menusuk: lebih dari separuh (sekitar 53 persen) angkatan kerja kita masih berpendidikan SMP ke bawah. Mereka yang berhasil menggenggam ijazah sarjana atau diploma hanya sekitar 12,8 persen.

Angka ini bukanlah sekadar statistik. Ini adalah cermin dari sebuah eskalator sosial yang macet. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi mesin penggerak mobilitas sosial, nyatanya masih menjadi menara gading yang sulit dijangkau. Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi kita memang perlahan naik, kini berada di kisaran 31-32 persen. Namun angka ini menyembunyikan ketimpangan yang dalam. Bagaimana mungkin kita bicara “SDM unggul” jika di satu sisi, provinsi seperti DIY APK-nya melesat, sementara di sisi lain, saudara-saudara kita di Papua atau NTT masih berjuang menembus angka 20 persen?

Setiap tahun, jutaan anak muda lulus dari bangku SMA dengan mata berbinar, memimpikan bisa mengenakan jaket almamater. Namun, lebih dari separuh mimpi itu padam bahkan sebelum sempat diperjuangkan. Mereka terhenti bukan karena tidak pintar, tetapi karena di hadapannya berdiri sebuah tembok raksasa bernama biaya.

Tembok tinggi bernama biaya pendidikan

Jumlah perguruan tinggi di negeri ini tidaklah sedikit. Pada 2024, berdasarkan data Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristek Dikti), jumlah unit perguruan tinggi yang terdaftar mencapai 4.416 unit. Sebanyak 90 persen di antaranya adalah perguruan tinggi swasta (PTS).

Bandingkan dengan Tiongkok, negeri berpenduduk 1,4 miliar, hanya punya 2.800-an perguruan tinggi. Jumlah perguruan tinggi di Indonesia terbanyak kedua setelah India.

Masalahnya, meski jumlah perguruan tinggi di Indonesia melimpah, daya tampungnya kecil. Daya tampung kampus swasta hanya 4,58 juta dari 9,96 juta mahasiswa di Indonesia.

Di sinilah letak masalahnya. Tak sedikit perguruan tinggi swasta (PTS) berdiri karena orientasi bisnis. Biaya pendidikannya terbilang mahal. Akibatnya, meski jumlah pendidikan tinggi banyak, tetapi pintu tidak gampang diakses karena persoalan biaya yang mahal.

Di sisi lain, setelah mengalami privatisasi, perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia juga tidak mudah diakses lagi. Sekarang ini ada tembok tinggi bernama biaya pendidikan yang merintangi setiap warga negara untuk memasuki PTN.

Di PTN, kita mengenal dua istilah: Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). BKT adalah biaya asli yang dibutuhkan universitas untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas per mahasiswa setiap semester. Angkanya bisa sangat tinggi, untuk bidang sosial-humaniora bisa mencapai Rp 15 juta-Rp 20 juta, sementara untuk kedokteran atau teknik bisa melampaui Rp 30 juta-Rp 40 juta per semester.

Dari BKT inilah kemudian ditetapkan UKT, yaitu biaya yang dibayarkan mahasiswa setelah disubsidi negara. Di atas kertas, sistem UKT yang berjenjang berdasarkan kemampuan ekonomi ini tampak berkeadilan. Ada golongan terendah (Kelompok 1 & 2) dengan biaya Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per semester. Namun, kuotanya sangat terbatas.

Kenyataannya, sebagian besar mahasiswa jatuh pada kelompok menengah ke atas, di mana biayanya membuat sesak napas. Di universitas-universitas besar, UKT untuk program studi favorit bisa mencapai Rp 15 juta, Rp 20 juta, bahkan lebih dari Rp 25 juta per semester. Jika dihitung untuk delapan semester, hanya untuk biaya UKT saja, orangtua harus menyiapkan dana antara Rp 80 juta hingga Rp 200 juta.

Tembok ini menjadi lebih tinggi lagi bagi mereka yang masuk melalui jalur mandiri. Mereka tidak hanya membayar UKT tertinggi, tetapi juga diwajibkan membayar uang pangkal atau Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang dibayar sekali di awal. Jumlahnya bervariasi, mulai dari belasan juta, puluhan juta, hingga di beberapa program studi kedokteran bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Di media sosial, terutama di X, sedang ramai keluhan mahasiswa terhadap biaya UKT. Banyak mahasiswa mengeluh dengan nilai UKT yang jauh dari penghasilan orangtuanya. Bahkan, tak sedikit yang mengurungkan niat untuk kuliah.

Dan, kita bahkan belum menghitung biaya hidup. Survei terbaru menunjukkan biaya hidup layak bagi mahasiswa di kota seperti Yogyakarta bisa mencapai Rp 2,9 juta per bulan. Di kota seperti Jakarta atau Bandung, angka ini tentu jauh lebih tinggi. Selama empat tahun, biaya hidup ini bisa dengan mudah menembus Rp 150 juta.

Jika kita jumlahkan, angka yang muncul sering kali membuat orangtua menarik napas panjang. Total biaya untuk satu ijazah sarjana—meliputi UKT, uang pangkal, dan biaya hidup—bisa dengan mudah menembus angka Rp 300 hingga Rp 500 juta. Angka ini bukan lagi sekadar biaya; ini adalah sebuah benteng yang memisahkan mereka yang berpunya dari mereka yang hanya punya mimpi.

Mengapa kuliah gratis penting?

Mengapa akses ke pendidikan tinggi ini begitu penting? Ini bukan sekadar urusan hak yang dijamin konstitusi. Ini adalah investasi paling fundamental bagi sebuah bangsa. Sukarno menyebutnya “investment of human skill”. Ekonom Amartya Sen mengistilahkannya sebagai “capability to function”—kemampuan seseorang untuk menjadi dan melakukan apa yang ia hargai dalam hidup.

Pendidikan tinggi bukanlah sekadar jalan mencari kerja. Ia adalah proses untuk menaikkan kesadaran, memperluas wawasan, dan menempa nalar kritis. Ia juga alat untuk membebaskan manusia dari jebakan pemikiran sempit dan kemiskinan. Tanpanya, kita hanya akan menghasilkan generasi yang keterampilannya terbatas, rentan dieksploitasi, dan sulit beradaptasi dengan perubahan zaman.

Nah, untuk membuka akses terhadap pendidikan selebar-lebarnya, negara harus turun tangan. Bentuk konkretnya, negara harus menyingkirkan rintangan biaya lewat program kuliah gratis.

Selama ini, kita mencoba menambal kebocoran ini dengan solusi parsial. Beasiswa, seperti KIP Kuliah, memang membantu, namun cakupannya masih sangat terbatas. Data menunjukkan, jumlah penerima beasiswa hanya sepersekian kecil dari total mahasiswa yang membutuhkan. Beasiswa adalah jaring pengaman bagi segelintir penerima manfaat, bukan solusi sistemik.

Lalu bagaimana dengan pinjaman mahasiswa (student loan)? Jangan sampai kita mengimpor bencana dari negara lain. Di Amerika Serikat, skema ini telah menciptakan krisis utang sebesar triliunan dollar yang menghantui para sarjana seumur hidup mereka. Menerapkannya di Indonesia, di mana kepastian kerja masih rendah dan jaring pengaman sosial rapuh, sama saja dengan menyiapkan bom waktu.

Wujudkan kuliah gratis

Jika kita serius ingin membangun “SDM unggul”, maka jalan satu-satunya yang paling logis dan berkeadilan adalah program kuliah gratis yang didanai penuh oleh negara.

Pertanyaan reflektifnya adalah, dari mana uangnya?

Mari kita berhitung. Berdasarkan hitungan Sonny Mumbunan, peneliti dari Basic Income Lab RCCC Universitas Indonesia, biaya per tahun seluruh mahasiswa strata satu hingga strata tiga dan vokasi berkisar Rp 95 triliun. Angka yang fantastis? Tunggu dulu. Mari kita letakkan angka itu dalam perspektif. Angka itu jauh lebih kecil dari anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dianggarkan Rp 171 triliun untuk tahun ini, lebih kecil dari belanja operasional birokrasi pemerintah sebesar Rp 691 triliun per tahun (Celios), lebih kecil dari anggaran pertahanan sebesar Rp 165,16 triliun, dan lebih kecil dari anggaran kepolisian sebesar Rp 126,6 triliun.

Ini adalah soal keberanian politik dan prioritas anggaran. Dengan menata ulang alokasi, menunda proyek-proyek yang tidak mendesak, atau mereformasi sistem perpajakan agar lebih adil dengan menyasar kaum superkaya, angka itu sangat mungkin untuk dipenuhi. Kita bisa menyita aset koruptor hingga tuntas, atau bahkan menagih komitmen kebangsaan para pejabat yang kekayaannya melonjak drastis untuk memotong sebagian penghasilan mereka demi dana abadi pendidikan. Ada seribu jalan jika ada kemauan.

Boleh jadi, soal anggaran kuliah gratis ini, ada pihak lain yang punya data berbeda. Namun, sebagai bangsa besar dan diprediksi masuk lima besar ekonomi terbesar dunia pada 2045 (berbasis PDB), sudah seharusnya Indonesia sanggup menggratiskan pendidikan tinggi.

Pada akhirnya, kuliah gratis bukanlah sebuah biaya, melainkan investasi pada mimpi kolektif kita. Ini adalah cara paling ampuh untuk memutus rantai kemiskinan, menyalakan mesin mobilitas sosial, dan memastikan bahwa setiap anak bangsa, dari Sabang sampai Merauke, memiliki hak yang sama untuk meraih potensi tertingginya. Sudah saatnya ijazah sarjana tidak lagi menjadi simbol kemewahan, melainkan sebuah hak dasar yang dijamin oleh negara yang beradab.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Mengunjungi Museum MH Thamrin, Menelusuri Jejak Seorang Pejuang

Mengunjungi Museum MH Thamrin, Menelusuri Jejak Seorang Pejuang

Bagi traveler yang gandrung dengan sejarah, tempat ini seperti kilau permata

You May Also Like
Total
0
Share