Mario Vargas Llosa: Sastrawan Besar Penggugat Kekuasaan

Mario Vargas Llosa, raksasa sastra dari Peru dan salah satu suara paling lantang dalam dunia sastra abad ke-20 dan ke-21, meninggal dunia pada usia 89 tahun, pada 13 April 2025. 

Ia bukan hanya novelis peraih Nobel, tapi juga seorang petarung intelektual yang tak pernah ragu memeluk kontradiksi. Ia pernah menjadi sayap kiri revolusioner, lalu menjadi ikon liberal kanan. Ia mencintai Peru sepenuh hati, meski kemudian memilih tinggal jauh darinya. Tapi satu hal tak berubah: keyakinannya bahwa novel adalah senjata melawan kebusukan kekuasaan.

Lahir di Arequipa, Peru, pada 1936, Vargas Llosa tumbuh dalam ketegangan keluarga yang keras. Sang ayah yang otoriter dan masa kecil yang penuh keterasingan justru membentuk daya tahan mental serta keberaniannya bersuara. Ia mengawali kariernya dengan The Time of the Hero (1963), novel yang langsung menggegerkan Peru karena membongkar hipokrisi militer. Buku itu dibakar oleh Akademi Militer, tempat ia pernah belajar—dan itu hanya awal dari rentetan perlawanan Vargas Llosa lewat sastra.

Mario Vargas Llosa muda, sekitar 1970-an. Kredit: Rockdelux

Dalam dekade-dekade berikutnya, ia melahirkan karya-karya penting seperti The Green House, Conversation in the Cathedral, dan The War of the End of the World. Gaya bertuturnya kompleks, berpindah-pindah perspektif, dengan struktur naratif yang menantang pembaca. Tapi substansi tulisannya selalu jelas: kekuasaan itu memabukkan, dan manusia, betapa pun berniat baik, bisa jatuh ke dalam lubang tirani.

Meski awalnya tergila-gila pada Revolusi Kuba dan Fidel Castro, Vargas Llosa dengan cepat menarik dukungannya ketika melihat represi terhadap kebebasan berpendapat. Peristiwa penahanan penyair Heberto Padilla menjadi titik baliknya. Sejak itu, ia menjelma menjadi kritikus keras rezim otoriter, tak peduli berasal dari kanan atau kiri.

Pada 1990, ia mencoba jalan yang lebih langsung dengan mencalonkan diri sebagai presiden Peru. Ia kalah dari Alberto Fujimori dalam kontestasi yang dramatis. Kekalahan itu menyakitkan, tapi membuka jalan baginya untuk kembali menulis dengan semangat baru. Sejak itu, ia tinggal di Spanyol dan terus menghasilkan novel dan esai yang memperkuat reputasinya sebagai intelektual global.

Mario Vargas Llosa saat kampanye sebagai Calon Presiden Peru, 1990. Ia dikalahkan oleh Alberto Fujimori. Kredit: The Guardian.

Penghargaan Nobel Sastra yang akhirnya datang pada 2010, mengukuhkan posisinya di puncak sastra dunia. Tapi alih-alih berpuas diri, Vargas Llosa justru makin rajin menulis kolom-kolom politik yang kontroversial. Ia mengecam populisme, sosialisme, nasionalisme, hingga gerakan identitas. Dalam beberapa tahun terakhir, ia bahkan terlihat mendukung tokoh-tokoh kanan kontroversial seperti Keiko Fujimori, José Antonio Kast di Chile, dan Isabel Díaz Ayuso di Spanyol.

Belokan politik Vargas Llosa sering membingungkan banyak pengagumnya. Bagaimana mungkin seorang yang dulu membela kebebasan bisa berpaling ke kanan konservatif? Apakah ia hanya mempertahankan prinsip liberal klasik, atau telah larut dalam paranoia antikomunis? Tak sedikit yang menganggapnya tersesat, namun banyak juga yang tetap menghormatinya sebagai suara jernih di tengah kekacauan ideologis.

Tapi bagi Vargas Llosa, politik selalu sekunder. Yang utama adalah sastra. “Saya belajar dari Flaubert bahwa fiksi lebih nyata daripada kenyataan,” katanya dalam satu wawancara. 

Ia percaya novel bisa menyuarakan hal-hal yang tak sanggup diucapkan oleh slogan atau pidato. Dalam novel-novelnya, orang-orang biasa bertarung melawan kekuasaan, kemunafikan, dan absurditas hidup. Ia menulis dengan disiplin militer, bangun pagi dan mengetik setiap hari tanpa jeda, seolah hidupnya bergantung padanya—dan mungkin memang begitu.

Kehidupan pribadinya pun penuh warna. Ia menikahi sepupunya Patricia Llosa selama lima dekade, sebelum menceraikannya dan menjalin hubungan dengan sosialita Spanyol Isabel Preysler. Hubungan itu jadi konsumsi publik, dan membuatnya lebih sering tampil di halaman hiburan ketimbang sastra. Tapi seperti biasa, Vargas Llosa tak peduli. Ia tetap menulis, bahkan ketika dunia mulai menertawakannya.

Mario Vargas Llosa adalah penulis yang hidup di antara paradoks. Ia keras kepala, kontradiktif, dan kadang menjengkelkan. Tapi ia juga tak pernah berhenti menulis, tak pernah berhenti berpikir, dan tak pernah berhenti mencintai kebebasan. Ia percaya sastra bisa menantang kekuasaan, membongkar kemunafikan, dan membebaskan individu.

Di dunia yang semakin bising oleh opini dangkal dan slogan politik, Vargas Llosa menawarkan sesuatu yang langka: ketekunan dalam berpikir, kedalaman dalam bercerita, dan keyakinan bahwa kata-kata masih bisa mengubah dunia. Ia telah pergi, tapi jejaknya tertanam kuat dalam lembar-lembar sastra dan sejarah.

Ia pernah berkata: “Sastra mengingatkan kita bahwa dunia bisa berbeda, bisa lebih baik.” Dan, kita, para pembaca, adalah saksi bahwa ia tak hanya menuliskannya—namun juga memperjuangkannya sampai akhir hayatnya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Albert Einstein, Ilmuwan Penentang Fasisme

Albert Einstein, Ilmuwan Penentang Fasisme

Einstein bukan hanya ikon fisika abad ke-20

Next
Ekosistem Pangan, BUMN dan Kedaulatan Pangan

Ekosistem Pangan, BUMN dan Kedaulatan Pangan

Kebijakan pangan pemerintahan Prabowo Subianto berfokus untuk mencapai

You May Also Like
Total
0
Share