Cinta sering kali tidak memandang perbedaan suku, agama, ras, bahkan kebangsaan. Namun, di masa kolonial Hindia-Belanda, hubungan asmara antara pribumi dan keturunan Eropa jarang sekali berakhir bahagia. Kisah mereka kerap terbentur oleh dinding tebal diskriminasi sosial dan hukum kolonial.
Kisah cinta tragis Minke dan Annelies dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer menjadi salah satu contohnya. Hubungan tulus mereka dipisahkan secara paksa oleh hukum kolonial yang diskriminatif dan rasis. Namun ternyata, kisah pahit semacam itu juga pernah dialami oleh tokoh besar bangsa, Sutan Sjahrir.
Awal Cinta di Negeri Belanda
Di awal 1930-an, Sjahrir muda tinggal di Belanda untuk melanjutkan pendidikan. Selama di sana, ia menumpang di rumah Solomon Tas, seorang penulis dan aktivis sosialis. Tas tinggal bersama istrinya, Maria Duchateau, dan dua anak mereka. Selain mereka, ada juga Judith van Wamel, seorang bohemian muda yang sering berkumpul dengan mereka.
Hubungan Tas dan Maria saat itu sedang renggang karena kesibukan Tas di dunia politik. Dalam suasana tersebut, Maria dan Sjahrir sering menghabiskan waktu bersama, mulai dari menonton film hingga mengikuti pertemuan politik. Tidak butuh waktu lama, benih cinta tumbuh di antara keduanya.
Meski Tas mengetahui hubungan tersebut, ia tidak mempersoalkannya. Pada tahun 1932, Sjahrir diminta pulang ke Hindia-Belanda untuk memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) Baru. Ia mengajak Maria ikut bersamanya. Namun, Maria harus menyelesaikan proses perceraian dengan Tas terlebih dahulu.
Pernikahan yang Menuai Kontroversi
Pada April 1932, Maria akhirnya menyusul Sjahrir ke Hindia-Belanda. Keduanya menikah secara Islam di Medan. Pernikahan ini segera menjadi buah bibir, terutama di kalangan masyarakat Eropa. Seorang pria pribumi yang menikahi perempuan Eropa adalah hal yang tidak lazim dan dianggap melawan norma sosial saat itu.
Media juga ikut memperkeruh keadaan. Sumatran Post, salah satu surat kabar terbesar di Medan, menulis artikel tentang Maria dengan judul: “Perempuan bersarung kebaya dalam penyelidikan polisi.” Tidak lama kemudian, dokumen Maria diperiksa, dan terungkap bahwa proses perceraiannya dengan Tas belum selesai. Maria dituduh melakukan bigami.
Pernikahan mereka mulai dipersoalkan, bahkan oleh pemuka agama setempat. Hanya sebulan setelah mereka menikah, pernikahan itu dinyatakan batal pada 5 Mei 1932. Lebih parah lagi, Maria dipulangkan ke Belanda meski sedang hamil muda. Keputusan ini menjadi pukulan berat bagi Sjahrir.
Cinta yang Terpisahkan Jarak
Sjahrir sempat bertekad untuk menyusul Maria ke Belanda. Namun, situasi politik membawanya ke arah berbeda. Pada tahun 1934, ia ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul, lalu dipindahkan ke Banda Neira.
Meski jarak memisahkan, cinta mereka tetap terjalin lewat surat-menyurat. Dari tahun 1931 hingga 1940, Maria menerima 287 surat cinta dari Sjahrir, dengan panjang 4-7 halaman setiap surat. Pada 3 September 1936, mereka bahkan menikah ulang secara jarak jauh. Sjahrir diwakili oleh pelukis Salim di Banda Neira, sementara Maria tetap di Belanda.
Namun, tantangan terus datang. Ketika Maria akhirnya berhasil mengumpulkan uang untuk menyusul Sjahrir pada tahun 1939, Perang Dunia II pecah. Transportasi antara Belanda dan Hindia-Belanda pun terputus. Di sisi lain, Sjahrir semakin tenggelam dalam gerakan bawah tanah melawan pendudukan Jepang.
Akhir yang Tidak Bahagia
Seiring berjalannya waktu, prioritas Sjahrir berubah. Setelah Proklamasi Kemerdekaan dan pembentukan Republik Indonesia, Sjahrir menjadi tokoh penting dalam pemerintahan baru. Perhatiannya semakin tercurah pada politik.
Pada tahun 1947, Maria dan Sjahrir akhirnya bertemu di New Delhi, berkat inisiatif Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru. Namun, pertemuan itu tidak bisa menghidupkan kembali api cinta mereka yang perlahan padam. Saat itu, Sjahrir sudah menjalin hubungan dengan Siti Wahjunah Saleh alias Poppy.
Maria dan Sjahrir resmi bercerai pada 12 Agustus 1948. Kisah cinta mereka berakhir, menyisakan kenangan pahit dan manis dari dua jiwa yang pernah saling mencintai di tengah segala keterbatasan.
Sjahrir, yang dikenal sebagai tokoh politik cerdas dan idealis, menunjukkan bahwa di balik sosok pejuang yang tangguh, ia juga seorang manusia biasa yang pernah merasakan cinta yang begitu dalam. Sayangnya, seperti kisah cinta yang lain, tidak semua cerita memiliki akhir yang bahagia.