Ketika Sukarno Mengkritik PBB

Sejak berdiri pada 24 Oktober 1945, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak pernah sepi dari kritik. Penyebabnya, lembaga ini selalu tak punya taring dalam menyelesaikan konflik global, terutama yang melibatkan Amerika Serikat (AS).

Sikap itu, termasuk dalam kasus genosida Israel terhadap rakyat Palestina. Di tengah krisis kemanusiaan parah di Gaza, Palestina, akibat serangan militer tanpa jeda oleh Israel, PBB lagi-lagi tak punya daya. Pada 5 Juni lalu, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata dan akses kemanusiaan tanpa batas dengan segera di Gaza. Walhasil, PBB tak bisa bertindak untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza.

Pada 15 Juni lalu, Israel tiba-tiba melancarkan serangan ke wilayah Iran. Seperti biasa, Israel memakai dalih usang: Iran mengembangkan nuklir. Meski tindakan Israel itu melanggar kedaulatan negara lain dan berpotensi memperluas konflik di Timur Tengah, PBB tak bisa bertindak.

Terbaru, AS atas perintah Donald Trump, mengirim pesawat pengebom B-2 untuk menghancurkan tiga fasilitas nuklir Iran, yakni Fordow, Natanz, dan Esfahan. Meskipun lagi-lagi ini tindakan sepihak yang menerobos kedaulatan negara lain dan memprovokasi perang berskala luas, PBB hanya bisa menyampaikan keprihatinan dan seruan.

Ketidakmampuan PBB menjadi penengah yang adil dalam menyelesaikan konflik antarbangsa sudah lama menuai kritik. Salah satu kritik yang keras dan pedas pernah dilontarkan oleh Presiden Sukarno.

Pada 1960, saat Sidang Umum ke-15 PBB, presiden pertama Republik Indonesia itu melantangkan kritik terhadap PBB. Tidak hanya soal Irian Barat, tetapi juga nasib bangsa-bangsa yang diperlakukan tidak adil oleh kolonialisme dan imperialisme.

Dunia saat itu sedang menghadapi arus besar dekolonialisasi yang menyapu bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Banyak bangsa baru merdeka yang muncul. Sukarno menyebutnya dengan istilah zaman pembangunan bangsa-bangsa.

“Lambat dan tak terelakkan, atau cepat dan tak terelakkan, kemenangan perjuangan nasional adalah suatu kepastian,” kata Sukarno.

Presiden Soekarno tampil menyampaikan resolusi pada sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika  Serikat, 30 September 1960. Kredit: KOMPAS

Sayang sekali, menurut Sukarno, PBB gagal merespons perkembangan zaman baru itu. Misalnya, pengambil keputusan terpenting di PBB masih tetap di tangan “big four”: Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Prancis. Akibatnya, sikap dan kebijakan PBB selalu berat sebelah alias tidak netral.

“Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat. Juga kami, bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil, kami pun berhak bersuara dan suara itu pasti akan berkumandang di sepanjang zaman,” ujarnya.

Secara tersirat, Sukarno mengkritik status pemilik hak veto yang dipegang segelintir negara saat itu: AS, Inggris, Uni Soviet, dan Prancis.

Bangsa-bangsa yang baru merdeka tidak punya pengaruh yang penting dalam proses pengambilan keputusan. Bahkan, Republik Rakyat Tiongkok, negara baru dengan penduduk 600-an juta orang kala itu, ditolak keanggotannya.

Saat itu, AS dan sekutunya kekeuh mempertahankan Republik Tiongkok, sekutu lawasnya, yang tersingkir ke Taiwan pasca pendirian Republik Rakyat Tiongkok pada 1949. Dan ironisnya, PBB membebek politik AS.

Sepanjang sejarah, AS sudah 88 kali menggunakan hak veto untuk mencegah langkah kolektif Dewan Keamanan PBB dalam menyelesaikan konflik. Dari jumlah itu, sebanyak 50 hak veto hanya untuk melindungi Israel.

Kedua, Sukarno mengkritik sikap PBB yang gagal menjadi “juru damai” di sejumlah negara yang dikoyak konflik, seperti perang Vietnam, Aljazair, Kongo, dan Korea. Dalam perang Korea, PBB terang-terangan memihak Korea Selatan.

Indonesia sendiri punya nasib serupa. Pada 28 September 1950, Indonesia resmi menjadi anggota ke-60 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saat itu, masalah Irian Barat mulai mencuat. Belanda tak punya itikad baik untuk merundingkan masalah tersebut.

Sejak awal, Indonesia mencoba jalan damai. Karena itu, pada 1954, Indonesia berusaha membawa masalah Irian Barat ke Sidang Umum PBB. Sayang, hingga Sidang Umum ke-12 tahun 1957, Indonesia tak mendapat titik terang.

Ketiga, Sukarno mengkritik PBB yang tak bisa menjadi penengah netral dalam benturan dua blok besar dalam Perang Dingin. Menurutnya, suasana Perang Dingin sudah merembes ke dalam pekerjaan, administrasi, dan rumah tangga PBB.

Menurut Sukarno, agar PBB terbebas dari hawa Perang Dingin, maka sekretariat PBB harus dipindahkan dari New York (AS) ke negara-negara netral.

Presiden Sukarno dan pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev di Istana Tampaksiring, Bali, 1960. Kredit: LIFE

“Marilah kita tinjau apakah Asia atau Afrika atau Jenewa akan dapat memberi tempat yang permanen kepada kita, yang jauh dari Perang Dingin, tidak terikat pada salah satu blok dan di mana para delegasi dapat bergerak dengan leluasa dan bebas sekehendak mereka,” katanya.

Selain meminta pindah sekretariat, Sukarno juga mendesak agar Piagam PBB diubah supaya selaras dengan perkembangan zaman dan tuntutan baru masyarakat dunia.

“Dunia ini pun tidak sama dengan yang dahulu. Mereka yang dengan kebijaksanaan berjerih payah untuk menghasilkan piagam organisasi ini, tidak dapat menyangka akan terjelmanya bentuk yang sekarang ini,” jelasnya.

Terkait benturan ideologi Perang Dingin yang seakan tak terdamaikan itu, Sukarno menawarkan jalan ideologi alternatif: Pancasila. Menurutnya, Pancasila lebih mencerminkan kondisi kekinian ketimbang Piagam PBB.

“Saya yakin, ya, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan dicantumkannya dalam piagam, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya yakin, bahwa Pancasila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejajar dengan perkembangan terakhir dari dunia,” ujarnya.

Di pengujung pidatonya, Sukarno menyinggung imperialisme dan kolonialisme sebagai sistem jahat yang telah menggiring dunia ketiga ke dalam kemiskinan dan perang.Baginya, dunia tidak akan pernah tenang dan damai selama masih ada imperialisme dan kolonialisme.
Menurutnya, perbaikan terhadap PBB haruslah senapas dengan semangat membangun dunia baru yang lebih aman, damai, adil dan makmur.

“Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang,” tegasnya.

Pidato Sukarno ini memang tak banyak mengubah wajah PBB sesudahnya. Pun PBB tak berbuat apa pun terhadap Indonesia yang merasa dikepung oleh imperialisme.

Isu Papua baru mendapat perhatian serius dari PBB pada Sidang Umum ke-17 pada 1962. Namun, Indonesia kembali menelan pil kecewa setelah PBB menetapkan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (Security Council).

Memang, sejak awal Indonesia tidak mau mengakui berdirinya Federasi Malaysia. Negara yang diproklamirkan pada 31 Agustus 1957 itu sangat disokong oleh Inggris. Bagi Sukarno, Federasi Malaysia tak lebih dari “boneka Inggris” untuk menjepit kedaulatan Indonesia.

Karenanya, begitu Malaysia ditunjuk sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan, Sukarno benar-benar meradang. Dia pun segera menarik Indonesia keluar dari PBB pada 20 Januari 1965.

Namun, tak lama kemudian, terjadi peristiwa G30 S 1965, yang mengubah politik Indonesia. Sukarno lengser, lalu digantikan oleh rezim Soeharto. Pada 19 September 1966, rezim baru mengirim telegram ke PBB. Isinya, keinginan untuk bergabung kembali ke dalam PBB.

Akhirnya, pada 28 September 1966, Indonesia kembali ke pangkuan PBB.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
John Lennon dan Sikap Politiknya

John Lennon dan Sikap Politiknya

Di balik kacamata bulatnya yang ikonik dan statusnya sebagai bintang rock

You May Also Like
Total
0
Share