Memasuki usia ke-498 tahun, Jakarta punya mimpi besar menjadi kota global dan berbudaya. Namun, salah satu tantangan besar untuk mewujudkan mimpi besar itu adalah pengelolaan sampah.
Dengan jumlah penduduk 11,34 juta jiwa, yang menghasilkan sampah sebanyak 7543 ton per hari (BPS, 2022), masih ada 3.500 ton sampah per hari yang belum terkelola.
Kawan 98, organisasi relawan yang terlibat dalam memenangkan Pramono Anung dan Rano Karno (Pram-Doel) pada pilgub 2024, menyerukan perlunya mengubah paradigma pengelolaan sampah di Jakarta.
“Selama ini, paradigma pengelolaan sampah masih ‘kumpul, angkut, buang’. Akibatnya, pengelolaan sampah bertumpu pada tempat pembuangan akhir di TPS Terpadu Bantargebang,” kata Koordinator Kawan 98, Kelik Ismunanto, di Jakarta, Sabtu (28/6).
Menurut Kelik, agar Jakarta menjadi kota global dan berbudaya, maka pengelolaan sampahnya juga harus diubah dengan budaya baru, yaitu: pilah, olah, dan manfaatkan.
“Artinya, sampah tidak lagi dipandang sebagai barang sisa yang tak berguna, melainkan sebagai sumber daya yang memiliki nilai. Pengelolaan dimulai dari sumbernya, yaitu rumah tangga, perkantoran, dan pusat-pusat kegiatan,” lanjut Kelik.
Bantargebang sudah di ujung tanduk
Kelik menegaskan, ketergantungan pada model “angkut-buang” ke Bantargebang adalah praktik yang tidak berkelanjutan dan berbahaya.
Sepanjang 2024, rata-rata 7.700 ton sampah masuk TPST Bantargebang per hari. Ada 1.200-1.300 ritase pengangkutan per hari. Kini, sekitar 55 juta ton sampah masih menumpuk di sana, dengan ketinggian 40 meter atau setara gedung 16 lantai.
Selain itu, pendekatan itu berbiaya tinggi. DKI Jakarta harus mengeluarkan anggaran ratusan miliar hanya untuk biaya pengangkutan, tipping fee, kompensasi kepada warga dan pemerintah Kota Bekasi, serta biaya operasional TPST Bantargebang.
“Bayangkan, jika anggara sebesar itu digeser untuk penanganan sampah di hulu. Selain lebih hemat, dampaknya juga bisa dirasakan warga Jakarta,” lanjutnya.
Saatnya beralih ke hulu
Kelik mengatakan, pengelolaan sampah di Jakarta harus digeser ke hulu, dengan meletakkan rumah tangga dan RT/RW sebagai ujung tombak, dengan paradigma: pengurangan, pemilahan, dan pengolahan.
“Hampir 60 persen sampah di Jakarta berasal dari rumah tangga. Sementara hampir 50 persen sampah Jakarta itu dari sisa makanan. Seharusnya, kalau rumah tangga dan bank sampah bisa dimaksimalkan, maka persoalan sampah di Jakarta bisa diatasi di hulu,” ujarnya.
Menurutnya, sampah organik di Jakarta, seperti bahan makanan, bisa diselesaikan dengan komposting, eco-enzyme, dan budidaya maggot atau black soldier fly (BSF).
Dia bilang, pengelolaan sampah berbasis warga, dengan memaksimalkan bank sampah setiap RW dan TPS 3R di setiap kelurahan, maka sampah yang dibawa ke TPS Terpadu hanya benar-benar residu.
Payung hukum sudah ada
Kelik mengungkapkan, pengelolaan sampah yang bertumpu di hulu sebetulnya sudah punya payung hukum. Di tingkat nasional, ada UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Sementara di Jakarta sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah (diperbarui oleh Perda Nomor 4 Tahun 2019), Pergub Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga, dan Pergub Nomor 102 Tahun 2021 tentang kewajiban pengolahan sampah di kawasan dan perumahan.
“Misalnya, dalam Pergub Nomor 77 Tahun 2020 itu ujung tombaknya RW. Ada mandat untuk membuat bidang pengelolaan sampah di setiap RW. Hanya, RW tak pernah didampingi, mendapat pelatihan, kurang sosialisasi, dan dukungan sumber daya,” jelas Kelik.
Ia sangat percaya, pemerintah Provinsi Jakarta di bawah kepemimpinan Pramono Anung dan Rano Karno akan menegakkan ketentuan perda dan pergub itu dengan sebaik-baiknya.
Perlu satgas percepatan penanganan sampah
Di tingkat nasional sudah terbentuk Satuan Tugas Penanganan Sampah Nasional atas instruksi Presiden Prabowo pada 12 Maret 2025. Satgas itu dipimpin oleh Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Menurut Kelik, instruksi itu seharusnya direspons dengan pembentukan satgas serupa di daerah, terutama di Jakarta. Satgas itu juga untuk mengimplementasikan perintah perda dan pergub yang sudah ada.
“Satgas itu nanti dibentuk gubernur untuk menerobos persoalan birokrasi yang selama ini menghambat penyelesaian sampah di Jakarta,” ungkapnya.
Kelik pun menyatakan sangat percaya Pramono Anung dan Rano Karno akan bisa menyelesaikan persoalan sampah di Jakarta.