Aksi penolakan atas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin bergerak meluas. Tak hanya disuarakan mahasiswa dan Koalisi Masyarakat Sipil, undang-undang yang dianggap mengembalikan dwifungsi TNI itu, juga ditolak barisan kaum ibu.
Tergabung dalam Suara Ibu Indonesia, ratusan ibu-ibu tersebut menggelar aksi di depan Gedung Sarinah, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat sore. Mengenakan baju berwarna putih, mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto segera membatalkan UU TNI yang disahkan Ketua DPR RI, Puan Maharani, Kamis, 20 Maret 2025.
Dalam aksi tersebut, Suara Ibu Indonesia juga menyatakan keprihatinannya atas represi aparat kepada mahasiswa dan masyarakat yang turun ke jalan menolak revisi UU TNI di berbagai kota.
Mereka menilai, tindak kekerasan aparat yang terjadi sejak rencana revisi UU TNI dibahas hingga disahkan DPR RI, telah melampaui batas kewajaran dan mengiris hati nurani kaum ibu. Kekerasan yang merebak di Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang serta sejumlah kota lain itu, telah berulang kali terjadi dan tak kunjung berhenti.
“Inisiatif Suara Ibu Indonesia digagas karena dua hal, yakni keinginan untuk melindungi mahasiswa yang berdemonstrasi menolak RUU TNI dari kekerasan aparat, dan menyampaikan protes atas disahkannya UU TNI,” kata arsitek, penulis, serta penggagas Suara Ibu Indonesia, Avianti Armand saat mengikuti aksi di depan Gedung Sarinah, Jakarta.
Gerakan kaum ibu itu pun menyerukan tuntutan yang sama seperti mahasiswa, yakni menolak praktik dwifungsi TNI dan meminta militer kembali ke barak. Hal ini, menurut mereka, sesuai Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengamanatkan tugas pokok tentara adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta tidak kembali ditarik masuk ke ranah politik dan bisnis seperti di masa Orde Baru.
Berorasi di sana, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Melani Budianta mengatakan, 27 tahun lalu anaknya ikut bergabung dalam aksi menentang dwifungsi TNI. Kini, meski telah memiliki cucu, Melani tak gentar melakukan aksi seperti para mahasiswa lantaran prihatin terhadap situasi sosial politik Indonesia.
Sedangkan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto menyatakan, dengan dimotori para mahasiswa, Indonesia selalu berhasil keluar dari krisis. “Dan, gerakan mahasiswa selalu menjadi motor penggerak perubahan,” katanya.
Filsuf Karlina Supelli yang pada 1998 menggagas gerakan Suara Ibu Peduli, bersama para tokoh perempuan lain, menyambut baik inisiatif Suara Ibu Indonesia. “Kehadiran ibu-ibu dalam gelombang protes ini bisa dilihat sebagai sesuatu yang genting. Kalau ibu-ibu sudah turun ke jalan, pasti ada situasi kritis yang memaksa mereka bertindak. Secara naluriah, perempuan memiliki sifat melindungi keluarga, terutama anak-anak yang dicintainya. Dalam keadaan genting, seorang Ibu akan bersedia pasang badan, menjadi tameng untuk melindungi anak-anaknya,” tutur Karlina.
Untuk diketahui, inisiatif Suara Ibu Indonesia terinspirasi dan merujuk pada sejarah Suara Ibu Peduli sebelum reformasi dan Aksi Kamisan yang telah berlangsung selama 18 tahun. Aksi protes di seberang Istana itu digagas Sumarsih, ibunda Wawan, mahasiswa yang tewas akibat kekerasan aparat dalam Tragedi Semanggi.
“Kami berharap dengan terlibatnya ibu-ibu dalam demo menolak UU TNI, gerakan ini bisa menggugah hati para ibu di seluruh Indonesia dan akan terus membesar hingga punya dampak yang serius dalam mendorong dibatalkannya UU TNI,” ujar Avianti.
Aksi tersebut, lanjut para ibu, merupakan permulaan dari perjuangan kaum perempuan Indonesia untuk melindungi dan mendampingi mahasiswa meneruskan tuntutannya menolak revisi UU TNI. Gerakan Suara Ibu Indonesia ini selanjutnya akan dilakukan dengan berkolaborasi bersama komunitas dan lembaga-lembaga lain yang telah terlibat dengan berbagai fokus.
Berikut statemen Suara Ibu Indonesia yang disebarkan kepada masyarakat luas:
Kami adalah Ibu Indonesia.
Kami menyuarakan kesedihan dan keprihatinan para ibu di seluruh Indonesia yang mengharapkan Indonesia yang lebih baik bagi generasi anak-anak kami.
Kami tidak rela masa depan anak-anak kami diambil oleh keserakahan para elite pejabat yang menempuh cara-cara kotor untuk melanggengkan kekuasaannya.
Kami tidak rela anak-anak kami hidup di Indonesia yang kehilangan kemanusiaan, keadilan, keberadaban, dan kemerdekaan bersuara.
Kami tidak rela anak-anak kami berhadapan dengan kekerasan aparat demi memperjuangkan demokrasi yang disudutkan oleh senapan dan diinjak-injak lars tentara.
Karena itu, kami tidak akan melarang anak-anak kami, para mahasiswa untuk memperjuangkan apa yang direnggut dari masa depan mereka.
Kami ingin anak-anak kami memperoleh perlindungan dalam perjuangan yang mereka lakukan. Jangan ada serangan terhadap tim medis yang menyelamatkan mereka dari pukulan aparat. Jangan ada yang dihilangkan. Jangan ulangi sejarah kelam negeri ini pada generasi penentu masa depan ini.
Kami, Ibu Indonesia, akan mendampingi perjuangan mereka dengan ikut turun ke jalan, berjuang bersama anak-anak kami, melawan kekuasaan yang korup.
Dalam aksi tersebut, Suara Ibu Indonesia menggaungkan sejumlah tuntutan: stop kekerasan pada mahasiswa; batalkan UU TNI; tolak RUU Polri; kembalikan tentara ke tugas utamanya membela Tanah Air; dan kembalikan polisi ke tugas utamanya melindungi masyarakat, bukan membela segelintir elite pejabat.