Sejarah adalah panggung pergulatan abadi antara ingatan versus penyangkalan. Mereka yang menghendaki menjadi bangsa besar, yang tak lagi menyimpan noda kelam di masa lalu dan tak mau kejahatan itu berulang di masa depan, akan selalu merawat ingatan.
Sebaliknya, mereka yang rantai kejahatannya terpaut pada masa silam akan mengerahkan segala daya untuk mengaburkan jejak agar dilupakan. Bagi mereka, ingatan adalah hantu yang mengancam legitimasi, dan penyangkalan adalah benteng terakhir untuk mengamankan dosa-dosa politik.
Persis itulah yang terjadi pada Indonesia hari ini. Ketika nakhoda Kementerian Kebudayaan RI, Fadli Zon, menyangkal tragedi pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998.

Permohonan maaf Presiden B.J. Habibie
Pada 15 Juli 1998, hanya 55 hari setelah dilantik, Presiden B.J. Habibie melakukan sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di Istana Merdeka, Jakarta ia bertemu dengan Koalisi Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.
Koalisi ini mewakili 4.000 penandatangan sebuah pernyataan yang menuntut pertanggungjawaban negara terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998. Di antara tokoh perempuan itu ada Saparinah Sadli, Smita Notosusanto, dan Ita F Nadia.
Di hadapan presiden, koalisi memaparkan peristiwa kerusuhan Mei 1998, termasuk kasus perkosaan massal yang menarget perempuan keturunan Tionghoa. Saat itu, Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan (TRKP), yang dipimpin Ita F Nadia, telah menyusun laporan lengkap dan detail.
“Saya baru mau buka laporan, kami juga sudah membuat statemen untuk diserahkan. Pak Habibie mengatakan, ‘Saya percaya. Tidak usah diterangkan. Karena itu saya percaya’,” kata Ita menirukan ucapan Habibie, seperti dikutip Kompas.com, 22 Mei 2023.
Ceritanya, Presiden Habibie sudah pernah mendengar cerita serupa dari kerabatnya. Dan, ia percaya dengan cerita itu. “Dia tidak bohong kepada saya,” katanya.

Dalam pertemuan itu, Habibie menanyakan kepada Koalisi Perempuan apa langkah yang harus ia ambil sebagai presiden. Saparinah Sadli, yang mewakili Koalisi, mengusulkan pembentukan komisi nasional yang melindungi perempuan dari tindak kekerasan. Tidak menunggu lama, Habibie menyetujui ide itu.
Pertemuan Presiden Habibie dengan Koalisi Perempuan pada 15 Juli 1998 itu menjadi tonggak sejarah. Hari itu, Presiden Habibie menggelar konferensi pers dan mengeluarkan pernyataan permintaan maaf kepada seluruh korban kasus perkosaan massal pada Mei 1998. Berikut isi pernyataannya:
“Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Untuk hal itu, saya menyatakan bahwa pemerintah akan proaktif memberikan perlindungan dan keamanan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menghindari terulangnya kembali kejadian yang sangat tidak manusiawi tersebut dalam sejarah bangsa Indonesia.
Saya harapkan kerja sama dengan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera kepada aparat pemerintah jikalau melihat adanya kecenderungan ke arah kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga dan di mana pun juga.
Oleh karena itu, saya atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, mengutuk berbagai aksi kekerasan pada peristiwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan, termasuk kekerasan terhadap perempuan.”

Langkah konkret
Namun, tindakan Habibie jauh melampaui retorika emosional. Ia menerjemahkan penyesalan menjadi instrumen negara yang konkret dan terukur. Langkah ini melahirkan dua warisan institusional yang menjadi fondasi bagi pengakuan dan pengungkapan tragedi tersebut:
Pertama, pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998
Tim yang dibentuk untuk melakukan investigasi independen ini bekerja dan menyerahkan laporan akhirnya kepada presiden pada 23 Oktober 1998.
TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dibentuk berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung.
Adapun anggota TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya. Representasinya cukup luas dan mewakili berbagai unsur. Bahkan ada lima jenderal di tim ini: dua mayor jenderal polisi dan tiga mayor jenderal TNI.
Kedua, pembentukan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
Lembaga ini didirikan secara permanen melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 pada 9 Oktober 1998. Pendiriannya merupakan respons langsung negara terhadap temuan awal mengenai kekerasan seksual yang sistematis.

Temuan TGPF
Setelah bekerja selama tiga bulan, dari 23 Juli 1998 hingga 23 Oktober 1998, TGPF merilis laporan akhir mereka.
“TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya,” tulis laporan itu.
Berdasarkan laporan yang telah diverifikasi oleh TGPF, jumlah korban perkosaan massal sebanyak 86 orang, dengan rincian: 52 kasus perkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan dan penganiayaan seksual, dan sembilan korban pelecehan seksual.
TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Dan, mayoritas mereka adalah keturunan Tionghoa.
Di laporan itu juga dilampirkan laporan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan, yang isinya lebih terperinci, lengkap dengan kronologi, lokasi, disertai testimoni saksi mata maupun korban. Menurut laporan ini, ada 152 perempuan yang menjadi korban perkosaan massal. Dari jumlah itu, 20 di antaranya meninggal karena penganiayaan maupun pembakaran rumah/bangunan.
Jadi, kalau Fadli Zon mempertanyakan bukti kasus perkosaan massal, termasuk mempersoalkan kata “massal” itu sendiri, berarti hanya dua kemungkinan: pertama, ia belum membaca laporan TGPF secara utuh; dan kedua, ia memang sengaja menyangkal sebagai sebuah strategi politik.

Bahaya penyangkalan Fadli Zon
Penyangkalan Fadli Zon terhadap kasus perkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998 sangat berbahaya.
Pertama, ia menyangkal sikap negara, yang diwakili oleh Presiden Habibie, yang sudah mengakui dan meminta maaf terkait kasus perkosaan massal pada Mei 1998. Dengan demikian, ia juga menyangkal temuan TGPF peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang dibentuk atas SK bersama: Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung pada 23 Juli 1998.
Ini juga bisa dibaca dalam perpektif yang luas. Jika pemerintahan Habibie mewakili pemerintahan reformis, dan permintaan maafnya terkait kasus perkosaan massal pada Mei 1998 sebagai salah satu fondasi reformasi, maka penyangkalan terhadapnya merupakan arus lama yang ingin mengembalikan Orde Baru.
Kedua, ini hanya mengoyak kembali luka para korban yang belum sembuh, termasuk trauma kolektif yang menghantui warga RI keturunan Tionghoa.
Pada akhirnya, penyangkalan Menteri Kebudayaan Fadli Zon atas kasus perkosaan massal pada Mei 1998 menggiring kita pada pertanyaan reflektif: Kebudayaan seperti apa yang sedang kita bangun? Apakah sebuah kebudayaan yang merawat ingatan, menghormati data, dan berpihak pada korban? Ataukah sebuah kebudayaan yang memilih amnesia, memanipulasi sejarah demi citra yang bersih namun palsu? Pilihan itu ada di tangan kita semua.
Laporan TGPF kerusuhan Mei 1998 bisa diakses di sini: https://komnasperempuan.go.id/download-file/143