Balada Guru Oemar Bakrie Sepanjang Masa

Siapa sih yang enggak kenal lagu Guru Oemar Bakrie karya Iwan Fals? Lagu ini udah lebih dari 40 tahun, tapi kisahnya masih relevan banget.

Dulu, di era Orde Baru, guru digambarkan sebagai sosok pengabdi tanpa tanda jasa, hidup pas-pasan, tapi tetap setia mendidik anak bangsa. Sekarang? Ternyata nasib para guru masih sama aja, bahkan mungkin lebih tragis.

Nasib guru

Di liriknya, Oemar Bakrie diceritakan naik sepeda kumbang, memakai tas kulit buaya, gajinya kecil, dan kesejahteraannya jauh dari cukup. “Empat puluh tahun mengabdi, jadi guru jujur berbakti, memang makan hati,” gitu katanya. Dulu, gaji guru emang kecil banget. Tahun 1980-an, seorang guru SD negeri cuma dibayar sekitar Rp 25.000-Rp 50.000 per bulan. Itu enggak cukup buat beli beras sebulan, apalagi kebutuhan lainnya.

Sekarang, gaji guru PNS sih udah naik, tapi kalau dibandingin dengan biaya hidup, tetap aja jauh dari layak. Gaji pokok guru PNS golongan IIIa (lulusan S1) itu sekitar Rp 2,7 juta-Rp 4,5 juta per bulan. Kalau udah puluhan tahun ngajar dan naik pangkat ke golongan IVa, paling tinggi cuma Rp 5,3 juta. Itu gaji pokok loh, belum dipotong ini-itu.

Bandingin deh sama anggota DPR yang gaji pokoknya aja Rp 15,5 juta, belum tunjangan segala macem yang kalau ditotal bisa sampai Rp 46 juta per bulan. Artinya, seorang guru PNS yang udah ngajar belasan tahun itu gajinya cuma sekitar 10 persen dari total gaji anggota DPR.

Kalau guru PNS aja segitu, gimana nasib guru honorer? Ya, lebih miris lagi. Di beberapa daerah, gaji guru honorer masih ada yang Rp 300 ribu sampai Rp 1 juta per bulan. Itu lebih kecil dari UMR buruh pabrik. Bahkan, ada yang dibayar Rp 50 ribu per bulan. Bayangin, Rp 50 ribu! Itu cuma cukup buat beli dua ayam geprek sama es teh doang.

Ketimpangan ini makin keliatan kalau kita liat fasilitas yang diterima. Seorang anggota DPR dapat tunjangan perumahan Rp 9,6 juta per bulan, tunjangan komunikasi Rp 12 juta, tunjangan kehormatan Rp 3,15 juta, dan tunjangan listrik Rp 5,4 juta. Belum lagi mereka dapat mobil dinas, rumah dinas, dan perjalanan dinas ke luar negeri yang biayanya bisa ratusan juta.

Sementara itu, banyak guru di daerah yang bahkan enggak punya rumah layak. Banyak juga yang masih naik motor butut ke sekolah atau bahkan jalan kaki karena enggak punya ongkos. Ada guru honorer yang harus cari kerja sampingan sebagai ojek online, buka warung kecil-kecilan, atau jadi admin media sosial buat nambah penghasilan.

Perbandingan ini jelas banget nunjukin betapa enggak adilnya sistem penghargaan di negeri ini. Seorang guru yang mencetak dokter, insinyur, pejabat, bahkan anggota DPR, justru digaji jauh lebih rendah daripada orang-orang yang mereka didik.

Tukin dosen: Janji yang enggak kunjung dibayar

Enggak cuma guru yang kena batunya, dosen juga ngalamin hal serupa. Sejak 2020 sampai 2024, dosen ASN enggak menerima tunjangan kinerja (tukin) yang seharusnya jadi hak mereka. Kemendikti Saintek bilang enggak bisa bayar karena waktu itu enggak ada alokasi anggaran. Padahal, jumlahnya enggak main-main, sekitar Rp 2,8 triliun.

Di satu sisi, pemerintah gampang banget ngeluarin anggaran buat proyek-proyek lain, seperti proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang gak jelas ujung nasibnya itu. Tapi buat bayar hak dosen aja masih pakai alasan klasik: enggak ada duit. Padahal, dosen-dosen inilah yang mencetak generasi akademisi dan peneliti. Kalau mereka enggak dihargai, gimana pendidikan tinggi di Indonesia mau maju?

Harapan yang selalu menguap

Tiap tahun ada janji manis buat meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, tapi realitanya masih jauh dari harapan. Pemerintah sih sempat ngumumin bakal nambah insentif guru honorer jadi Rp 2 juta per bulan, tapi itu pun masih jauh dari cukup buat hidup layak, terutama di kota-kota besar.

Harusnya, kalau pemerintah bener-bener peduli, mereka naikin gaji guru minimal setara UMR tertinggi di Indonesia. Atau, kalau mau lebih adil, buat aturan kalau gaji guru minimal harus 30-40 persen dari gaji pejabat negara.

Jika itu belum terjadi, balada Oemar Bakrie masih akan terus terdengar, dari generasi ke generasi. Sebab, selama guru masih dipandang sebelah mata, Indonesia enggak akan pernah benar-benar maju.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Habis Tagar #IndonesiaGelap, Terbitlah Perlawanan

Habis Tagar #IndonesiaGelap, Terbitlah Perlawanan

Tagar-tagar itu merupakan ekspresi kekecewaan warga negara, khususnya kaum muda

Next
Kisah di Balik Pengibaran Bendera AS di Iwo Jima

Kisah di Balik Pengibaran Bendera AS di Iwo Jima

Ternyata ada kisah menarik di balik peristiwa itu, lho

You May Also Like
Total
0
Share