Analisis Strategis: PSN Papua dalam Cengkeraman Oligarki (2)

Di Brasil, proyek pertanian skala besar di wilayah Amazon telah menyebabkan deforestasi massif dan konflik sosial. Menurut Nepstad et al. (2014), ekspansi pertanian kedelai dan peternakan telah mengakibatkan hilangnya lebih dari 750.000 km² hutan sejak tahun 2000. Meskipun pemerintah Brasil menerapkan kebijakan REDD+ untuk mengurangi deforestasi, namun pelaksanaannya masih lemah karena pengaruh kuat lobi agribisnis.

India mengalami peningkatan produksi pangan melalui Revolusi Hijau, namun juga menghadapi dampak negatif seperti penurunan biodiversitas dan ketergantungan petani pada perusahaan benih dan pupuk. Menurut Shiva (2016), ketergantungan ini memperparah kemiskinan dan utang petani, terutama di daerah pedesaan. Pemerintah India telah mencoba menerapkan program inklusif seperti Mahatma Gandhi National Rural Employment Guarantee Act (MGNREGA), namun belum sepenuhnya efektif dalam mengatasi ketimpangan struktural.

Meskipun proyek food estate diklaim sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, data empiris menunjukkan bahwa manfaat ekonomi yang dijanjikan tidak sepenuhnya terwujud. Sebaliknya, terdapat sejumlah dampak negatif yang memperburuk kondisi ekonomi masyarakat adat Papua.

Masyarakat adat Malind di Merauke menggantungkan hidup pada hutan, sungai, dan sistem pertanian tradisional (sagu, ubi, dan perburuan). Dengan adanya proyek food estate, lahan-lahan adat dikonversi menjadi lahan pertanian monokultur seperti padi dan tebu. Hal ini menyebabkan hilangnya akses terhadap sumber penghidupan utama masyarakat lokal.

“Sekitar 65 persen masyarakat di Distrik Animha dan Kurik kehilangan akses terhadap lahan subsisten mereka sejak proyek food estate dimulai pada 2022,” ungkap Yayasan Pusaka, 2024.

Masyarakat Papua di Jakarta menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merampas tanah masyarakat adat di Papua. Kredit: Konde.co

Pekerjaan yang tersedia dalam proyek food estate sebagian besar bersifat temporer dan tidak memberikan jaminan sosial. Upah yang diterima oleh pekerja lokal juga jauh di bawah upah minimum regional (UMR). Dalam survei lapangan oleh Papua Watch (2024), ditemukan bahwa rata-rata pekerja hanya menerima Rp 50 ribu–Rp 75 ribu per hari tanpa kontrak kerja formal.

Proyek food estate juga menggantikan sistem pangan lokal yang berbasis biodiversitas dengan sistem pertanian intensif berbasis input eksternal (pupuk kimia, benih hibrida, dan pestisida). Hal ini menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan penyedia input pertanian dan menghilangkan kedaulatan pangan lokal.

Menurut FAO (2023), keberlanjutan sistem pangan lokal sangat bergantung pada pengetahuan tradisional dan akses terhadap lahan. Ketika sistem tersebut digantikan oleh model korporatis, masyarakat kehilangan kontrol atas produksi dan distribusi pangan mereka sendiri.

Meskipun pemerintah menjanjikan alih teknologi dan pelatihan pertanian modern, pelaksanaannya sangat terbatas. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mendapatkan pelatihan, dan sebagian besar teknologi pertanian dikelola oleh tenaga kerja dari luar Papua. Selain itu, investasi sosial seperti pembangunan sekolah, fasilitas kesehatan, dan infrastruktur dasar tidak berjalan seiring dengan ekspansi proyek.

“Dari 12 kampung terdampak proyek, hanya dua yang mendapatkan akses pelatihan pertanian, dan tidak ada pembangunan fasilitas publik baru sejak 2022,” sebut laporan Riset LIPI, 2024.

Afiliasi Jhonlin Group dengan elite politik memperlihatkan bagaimana kekuasaan ekonomi dan politik saling menopang dalam pelaksanaan proyek strategis nasional. Keterlibatan perusahaan ini dalam proyek food estate di Papua Selatan bukan hanya soal investasi, tetapi juga soal dominasi terhadap kebijakan publik dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat lokal.

Dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat lokal justru menunjukkan pola eksklusi dan marginalisasi. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, proyek ini memperkuat ketimpangan sosial-ekonomi dan merusak sistem penghidupan tradisional masyarakat adat. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap model pembangunan yang berbasis pada konsentrasi kekuasaan dan eksploitasi sumber daya.

Proyek PSN di Papua menunjukkan bahwa pembangunan yang tidak partisipatif cenderung memperkuat ketimpangan struktural. Masyarakat adat tidak hanya kehilangan lahan, tetapi juga identitas budaya mereka. Hal ini menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara, khususnya kelompok rentan.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi kebijakan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan keadilan ekologis harus menjadi dasar dalam perencanaan dan pelaksanaan PSN. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap proyek strategis mematuhi standar HAM internasional dan melibatkan masyarakat adat secara bermakna.

PSN, khususnya food estate di Papua Selatan, mencerminkan paradoks pembangunan di Indonesia. Di satu sisi menjanjikan kemajuan, namun di sisi lain memperkuat dominasi oligarki dan memperparah penderitaan masyarakat adat. Tanpa reformasi struktural yang mendalam dan pendekatan partisipatif, proyek ini berisiko menjadi instrumen eksklusi sosial dan kerusakan ekologis.

Demonstrasi yang dilakukan oleh komunitas adat Marind-Anim di depan Kementerian Pertahanan, RI (2024. Kredit: Islam Bergerak

Penjajahan modern: PSN sebagai instrumen oligarki

Ada hal penting yang juga harus disoroti dalam pelaksanaan PSN ini, yakni munculnya dampak negatif terkait cengkraman oligarki yang makin kuat di berbagai lini.

Pertama, pencurian tanah dan sumber daya. Proyek food estate di Merauke bukanlah pembangunan, melainkan pencurian sistematis tanah dan sumber daya milik rakyat Papua. Dibalut retorika swasembada pangan dan energi, proyek ini menjadi alat bagi oligarki—Jhonlin Group, KPN Corporation, First Resources, dan kroni-kroninya—untuk menguasai lahan subur dan kekayaan alam Papua. Kunjungan Presiden Prabowo Subianto hanyalah sandiwara untuk menutupi realitas pahit ini. Janji pembangunan berkelanjutan hanyalah kamuflase bagi penjarahan besar-besaran.

Kedua, konsolidasi kekuasaan dan kapital. PSN di Papua bukan sekadar proyek infrastruktur, tetapi instrumen konsolidasi kekuasaan ekonomi-politik oligarki. Kedekatan perusahaan-perusahaan besar dengan elite politik menunjukkan bagaimana kekayaan digunakan untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Proyek ini memperkuat sistem yang menindas, menciptakan ketidaksetaraan yang semakin menganga antara segelintir elite dan mayoritas rakyat Papua yang terpinggirkan.

Ketiga, neokolonialisme abad 21. Proyek food estate di Papua merupakan manifestasi neokolonialisme abad 21. Menggunakan dalih pembangunan, negara—yang seharusnya melindungi rakyatnya—justru menjadi alat bagi oligarki untuk mengeksploitasi sumber daya dan merampas hak-hak masyarakat adat. Penggusuran paksa, pelanggaran FPIC, dan kerusakan lingkungan adalah bukti nyata dari kejahatan ini. Proyek ini bukanlah pembangunan, tetapi penjajahan yang berkedok modern.

Perbandingan global: Model eksploitasi sistematis

Kita juga perlu melakukan perbandingan dengan proyek-proyek di belahan negeri lain. Hal ini penting agar kasus yang membawa dampak serupa bisa dilihat secara objektif.

Pertama, Brasil dan Amazon. Proyek PSN di Papua serupa dengan eksploitasi lahan di Amazon, Brasil. Kedua kasus menunjukkan bagaimana proyek pertanian skala besar, yang didorong oleh kepentingan korporasi, menyebabkan deforestasi, konflik sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia. Perbedaannya terletak pada tingkat keterbukaan keterlibatan oligarki, di mana di Indonesia jauh lebih terang-terangan.

Kedua, India dan Revolusi Hijau. Meskipun India mencapai swasembada pangan melalui Revolusi Hijau, tapi dampak negatifnya—penurunan biodiversitas, ketergantungan pada perusahaan swasta, dan kemiskinan di daerah pedesaan—menunjukkan bahaya dari model pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat. Indonesia berisiko mengalami nasib serupa, bahkan lebih buruk, karena peran oligarki yang dominan.

Ketiga, kegagalan negara dalam melindungi rakyat. Baik di Brasil, India, maupun Indonesia, kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya dari eksploitasi korporasi menjadi faktor kunci dalam memperburuk penderitaan masyarakat. Kurangnya regulasi yang ketat, lemahnya penegakan hukum, dan korupsi menjadi penyebab utama kegagalan ini.

Eskavator bekerja di proyek Food Estate di Papua. Kredit: Islam Bergerak (islambergerak.com)

Dampak investasi: Kerusakan ekologis dan sosial

Proyek semacam ini juga banyak memunculkan dampak buruk, tak hanya bagi sumber daya alam namun juga masyarakat adat. Sejumlah dampak tersebut, antara lain:

Pertama, kehancuran lingkungan. Proyek food estate telah menyebabkan deforestasi massif, peningkatan emisi karbon, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati Papua. Kerusakan lingkungan ini berdampak jangka panjang dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat adat.

Kedua, pelanggaran HAM sistematis. Penggusuran paksa, pelanggaran FPIC, dan hilangnya akses terhadap sumber daya alam telah menyebabkan penderitaan ekonomi dan sosial yang luar biasa bagi masyarakat adat. Ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan terencana.

Ketiga, ketimpangan yang semakin menganga. Proyek ini memperburuk ketimpangan ekonomi dan sosial yang sudah ada. Oligarki semakin kaya, sementara rakyat Papua semakin menderita. Janji kesejahteraan hanyalah propaganda untuk menutupi realitas eksploitasi dan penindasan.

Jalan menuju keadilan ekologis dan sosial

Untuk mencegah dampak buruk yang lebih besar terjadi di Tanah Papua, harus ada langkah nyata yang wajib dilakukan bersama. Hal ini penting dilakukan agar keadilan sosial dan ekologis bisa dicapai.

Pertama, pemetaan ulayat dan penegakan FPIC. Pemetaan hak ulayat secara partisipatif dan penerapan FPIC yang ketat merupakan langkah krusial untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Tanpa itu, proyek-proyek serupa akan terus menghancurkan kehidupan mereka.

Kedua, audit independen dan akuntabilitas. Audit independen terhadap perusahaan yang terlibat dalam PSN sangat penting untuk mengungkap praktik korupsi dan pelanggaran hukum. Para pelaku harus diadili dan diberi sanksi yang setimpal.

Ketiga, pendidikan ekologis dan kesadaran kolektif. Pendidikan ekologis dan pembangunan kesadaran kolektif tentang pentingnya keadilan ekologis dan sosial merupakan kunci untuk mengubah paradigma pembangunan yang eksploitatif. Rakyat harus dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan.

Kesimpulan

PSN di Papua bukanlah solusi, tetapi masalah. Ia merupakan bukti nyata bagaimana sistem ekonomi-politik yang korup dan oligarkis mengeksploitasi rakyat dan lingkungan demi keuntungan segelintir elite. Perubahan fundamental dalam paradigma pembangunan, yang berpusat pada keadilan ekologis dan sosial, sangat diperlukan untuk menghentikan penjajahan modern ini dan menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi rakyat Papua.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Analisis Strategis: PSN Papua dalam Cengkeraman Oligarki (1)

Analisis Strategis: PSN Papua dalam Cengkeraman Oligarki (1)

Kunjungan Presiden Prabowo Subianto pada 3 November 2024 ke Desa Wanam,

Next
Ironi Koperasi Merah-Putih

Ironi Koperasi Merah-Putih

Maka, ketika pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengumumkan rencana raksasa

You May Also Like
Total
0
Share