Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang baru jelang empat bulan bekerja, terimpit warisan fiskal yang sempit warisan pemerintahan Joko Widodo. Di sisi lain, pemerintahan ini punya program ambisius yang butuh pembiayaan. Salah satunya: program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Berusaha mencari ruang bernapas dari cekikan ruang fiskal itu, pemerintahan Prabowo-Gibran mengeluarkan jurus baru: efisiensi anggaran. Nantinya, efisiensi anggaran ini akan melalui tiga tahap. Targetnya, efisiensi tiga tahap itu akan menghasilkan Rp 750 triliun.
Tahap pertama, penghematan dari pos Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) sebesar Rp 300 triliun. Yang kedua, lewat Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, pemangkasan anggaran kementerian/lembaga dan dana transfer daerah. Totalnya ditargetkan: Rp 308 triliun (Rp 58 triliun akan dikembalikan kepada K/L). Dan, tahap tiga, kontribusi dividen BUMN yang ditarget Rp 300 triliun (Rp 100 triliun akan dikembalikan lagi ke BUMN).
Meskipun kata efisiensi terdengar populis dan terkesan urgen, tetapi kebijakan ini punya banyak sudut gelap yang perlu dilihat lebih dekat dan lebih teliti lagi. Ada banyak aspek dari kebijakan efisiensi itu yang perlu dikritik.
Esensi dari efisiensi adalah menggunakan sumber daya, entah tenaga maupun modal, untuk mendapatkan hasil yang sama atau bahkan bisa lebih. Jadi, kalau retorikanya efisiensi, tapi penggunaan sumber dayanya tidak minimal, itu sih efisienshit!
Pertama, efisiensi ala Prabowo tidak disertai dengan perampingan postur birokrasi. Kabinet tetap super gemuk. Total ada 109 pejabat dalam Kabinet Merah Putih, dengan rincian: 48 menteri, 59 wakil menteri, dan delapan pejabat setingkat menteri. Bahkan, ketika gembar-gembor efisiensi dikumandangkan, masih ada pelantikan staf khusus.
Ini jelas tidak betul. Mari mencontoh efisiensi ala Vietnam. Di Negeri Paman Ho itu, politik efisiensi disertai perampingan kabinet dari 18 menteri menjadi 14 menteri. Kebijakan perampingan ini, yang oleh media lokal disebut “revolusi birokrasi”, diharapkan bisa membuat birokrasi Vietnam bekerja lebih gesit dan efisien agar bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2025. Untuk diketahui, pada 2024, pertumbuhan ekonomi Vietnam sudah 7,1 persen, salah satu yang terbaik di dunia.
Seharusnya, jika bicara perampingan (downsize) birokrasi, maka yang prioritas dikurangi adalah jumlah birokrat di level atas (pengurangan menteri, penghapusan staf khusus, penghapusan lembaga/badan yang tidak urgen).
Kedua, kebijakan efisiensi anggaran berpotensi mengorbankan kepentingan jangka panjang (long-term) demi kepentingan jangka pendek (short-term).
Ketika problem terbesar kita deindustrialisasi, efisiensi justru menyasar kementerian/lembaga yang terkait dengan infrastruktur, pendidikan, koperasi, dan UMKM. Sebaliknya, kementerian/lembaga yang berkaitan dengan penegak hukum dan keamanan justru tidak tersentuh pemangkasan.
Lebih menggemaskan lagi, lembaga yang prestasinya jeblok dan banyak menuai kritikan publik terkait kinerja, seperti DPR dan kepolisian, juga tidak tersentuh pemangkasan.
Contoh lainnya lagi, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) terdampak efisiensi, yang berdampak pada infrastruktur pendidikan, beasiswa, bantuan operasional perguruan tinggi (BOPTN), dan tunjangan dosen non-ASN.
Ironisnya, pemangkasan yang berdampak pada pendidikan itu dialihkan sebagian untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Meskipun dibungkus dengan tujuan yang tampak mulia, yakni memerangi malnutrisi dan stunting, program MBG perlu dikritik. Program ini seharusnya bersifat targeting, bukan universal. Target MBG harusnya hanya anak-anak dari keluarga miskin dan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Dengan begitu, anggarannya bisa lebih kecil, sehingga fokus anggaran tetap pada aspek long-term: pemerataan akses dan infrastruktur pendidikan demi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ketiga, efisiensi condong mengencangkan ikat pinggang birokrasi di level bawah ketimbang di level atas. Laporan BBC Indonesia pada 7 Februari 2025 menyingkap, PNS level bawah harus bekerja tanpa dukungan penerangan yang memadai, penggunaan pendingin ruangan (AC) yang dibatasi, pengurangan operasi lift, dan lain-lain. Sementara pejabat level atas tetap nyaman menikmati fasilitas super mewah, dari mobil dinas Lexus yang harganya Rp 2 miliar ke atas, dikawal dengan patwal, rapat-rapat masih pakai Equil untuk minumnya, dan tunjangan rumah dinas yang nilainya per bulan 29 kali lipat rata-rata gaji guru honorer.
Puncak dari ironi terjadi ketika kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah (pemda) disuruh mengurangi aktivitas seremoni, Presiden Prabowo justru mengumpulkan 450 kepala daerah seluruh Indonesia untuk kegiatan nir-faedah: retreat. Seremoni tak berguna ini disebut memakan biaya Rp 13 miliar. Angka Rp 13 miliar itu setara dengan 650 ribu porsi nasi kotak harga Rp 20 ribu per porsi; bisa membeli 130 ribu buku paket untuk anak sekolah seharga Rp 100 ribu; bisa membangun hampir 100 perpustakaan desa yang sederhana.
Kalau mau efisiensi dengan benar, maka harus dimulai dari birokrasi level atas. Seharusnya presiden, wapres, menteri, pejabat setingkat menteri, seluruh anggota DPR/DPD, seluruh direksi dan komisaris BUMN, seluruh gubernur dan DPRD provinsi, hingga bupati/DPRD tingkat kota/kabupaten, harus berani memotong 30-50 persen gaji dan tunjangannya, menghilangkan fasilitas mobil dinas, menghilangkan tunjangan rumah dinas, bepergian dengan tiket ekonomi.
Soal ini, kita tak perlu belajar jauh-jauh, cukup menengok pengalaman negara tetangga: Malaysia. Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad (1983-2003), ia berkali-kali melakukan efisiensi anggaran. Yang pertama dilakukan adalah memotong gajinya sendiri dan seluruh anggota Kabinetnya. Hal yang sama dilakukan oleh Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Pada 2022 lalu, ia dan seluruh Kabinetnya setuju memotong gaji 20 persen demi efisiensi anggaran.
Keempat, tujuan efisiensi ini sangat short-term dan menjadi sebuah perjudian besar. Program MBG, yang diharapkan bisa mencegah malnutrisi dan stunting, diselenggarakan serampangan, menu ala kadarnya, dan sentralistik.
Program ini akan seperti menjaring angin manakala efisiensi justru memicu banyak pekerja non-AS di kantor-kantor kementerian terkena pemutusan hubungan kerja, menggerus daya beli karena naiknya beban biaya pendidikan dan kesehatan yang ditanggung masyarakat, dan persoalan kemiskinan tak tersentuh.
Selain itu, ternyata sebagian besar (Rp 325 triliun) dana hasil efisiensi akan disuntikkan ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). Tentu saja, secara konsepsi, Sovereign Wealth Fund (SWF) bisa menjadi strategi jangka panjang untuk memperkuat ekonomi nasional. Namun, pertanyaannya, di tengah gurita korupsi dan pewajaran konflik kepentingan, bagaimana pemerintah bisa menyakinkan kita bahwa Danantara tidak akan berakhir sebagai lubang raksasa mega-korupsi?
Apalagi, melihat bocoran bentuk organisasi dan nama-nama yang bakal mewarnai badan baru ini, kita akan terburu-buru untuk menyimpulkan bahwa proyek ini tak lebih dari “super-fund politics” menuju pemilu 2029. Semoga kesimpulan ini meleset.
Akhir kata, efisiensi anggaran ala Prabowo tak lebih dari akrobat semantik. Pada kenyataannya, efisiensi hanya mengencangkan ikat pinggang pegawai level bawah dan memangkas belanja yang urgen untuk kepentingan jangka panjang. Ini jelas bukan efisiensi, tapi efisienshit!