Perempuan Masih Minoritas dalam Kepemimpinan Bisnis

Perjuangan perempuan untuk mencapai kesetaraan di posisi kepemimpinan senior tak cuma melambat, tapi malah mundur. Ada anggapan keliru bahwa masalah ini sudah selesai dan kita bisa fokus ke hal lain. Henyataannya, hal ini masih jauh dari kata selesai.

Di daftar terbaru Fortune Global 500, 472 dari 500 perusahaan dipimpin oleh laki-laki, dan jumlah ini malah naik dari tahun lalu. Artinya, hampir 95 persen perusahaan besar di dunia “dikuasai” laki-laki. Perempuan masih sangat sedikit yang berhasil sampai ke posisi tertinggi. Ini menunjukkan betapa panjang jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kesetaraan gender di level atas dunia bisnis.

Perempuan yang berhasil jadi CEO sering kali harus menghadapi berbagai bias gender dan hambatan selama bertahun-tahun. Apalagi untuk perempuan dari latar belakang yang terpinggirkan, tantangannya lebih berat lagi. Selain itu, masa jabatan CEO perempuan juga lebih pendek dibanding laki-laki. Rata-rata, perempuan bertahan lima tahun sebagai CEO, sedangkan laki-laki bisa sampai delapan tahun. Ini karena ekspektasi dan toleransi terhadap perempuan di posisi tersebut lebih rendah.

Mengabaikan talenta Itu merugikan

Masalah ini bukan cuma soal keadilan, tapi juga soal efektivitas bisnis. Jika kepemimpinan perusahaan besar tidak mencerminkan keberagaman pasar yang mereka layani, itu bisa merusak bisnis itu sendiri. Meski ida pepatah “perempuan menopang setengah langit”, tapi di dunia kerja, mereka masih sering diabaikan.

Penelitian menunjukkan, perempuan pemimpin dihadapkan pada standar kinerja yang lebih tinggi dan penilaian yang lebih keras dibanding laki-laki. Stereotip gender membuat perempuan sering dianggap “terlalu lembut” atau “terlalu keras,” tapi jarang pas di tengah. Harapan terhadap perempuan lebih tinggi, tapi penghargaan yang mereka terima lebih rendah dibanding laki-laki.

Banyak dari kita sudah terbiasa melihat gaya kepemimpinan maskulin, seperti ketegasan dan kemandirian, sebagai norma. Ini membuat kita cenderung menganggap pemimpin yang ideal adalah laki-laki. Akibatnya, sulit untuk memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan.

Padahal, banyak perempuan berbakat yang sedang diabaikan. Dari 500 perusahaan di daftar Fortune, hanya 28 yang dipimpin oleh perempuan. Nama-nama seperti Margherita Della Valle dari Vodafone, Emma Walmsley dari GSK, dan Jane Fraser dari Citigroup jadi contoh bahwa perempuan bisa sukses di puncak kepemimpinan. Ketika dunia bisnis tidak mencerminkan keberagaman yang ada di masyarakat, ini harus jadi perhatian serius.

Langkah ke depan

Pertanyaannya bukan lagi apa yang harus dilakukan perempuan untuk mencapai posisi tersebut, tapi apa yang harus dilakukan organisasi untuk membuka jalan bagi mereka. Kita tak perlu “memperbaiki” perempuan, tapi memperbaiki sistem yang menghambat kemajuan mereka. Perusahaan harus serius dalam mendukung talenta yang beragam dan menciptakan lingkungan kerja di mana perempuan bisa berkembang.

Ini adalah hal yang sangat penting untuk bisnis. Jika laju kemajuan perempuan di dunia kepemimpinan terus melambat, atau bahkan mundur, ini bisa berdampak buruk bagi masa depan.

Menurut World Economic Forum, butuh 134 tahun untuk menutup kesenjangan gender. Bahkan, perempuan yang sudah jadi CEO pun masih dibayar lebih rendah dari laki-laki. Di perusahaan FTSE 100, CEO perempuan dibayar £ 768.000 lebih rendah dibandingkan CEO laki-laki. Dengan laju saat ini, kesetaraan gender di level CEO baru bisa tercapai pada tahun 2057.

Tapi, ada juga tanda-tanda harapan. Kelompok CEO Catalyst Champions for Change, yang terdiri dari lebih dari 80 CEO global, berkomitmen untuk mendorong kesetaraan gender di perusahaan mereka. Banyak dari perusahaan ini telah melakukan peninjauan kesetaraan gaji dan membuat perubahan yang diperlukan. Perusahaan-perusahaan ini juga terus mendorong keterwakilan perempuan di tingkat kepemimpinan.

Mempercepat perubahan

Perusahaan yang benar-benar ingin membuat kemajuan sedang menggandakan upaya mereka untuk menciptakan tempat kerja yang adil dan inklusif. Membuat tempat kerja yang setara bukan sekadar mencentang kotak di daftar tugas, tapi butuh perubahan mendasar dalam struktur dan budaya perusahaan.

Program mentorship, sponsorship, fleksibilitas kerja, dan dukungan seperti childcare adalah kunci agar perempuan bisa sukses di tempat kerja. Penelitian juga menunjukkan bahwa karyawan lebih mungkin bertahan jika mereka merasa perusahaan serius soal kesetaraan dan keadilan.

Masalah kesetaraan gender dalam kepemimpinan bukan hanya masalah perempuan, tapi masalah kita bersama. Pemimpin bisnis harus menyadari bahwa masa depan ekonomi global bergantung pada seberapa serius kita menangani tantangan ini. Sudah waktunya kita benar-benar memperjuangkan kesetaraan gender.

Ellie Smith, Direktur Riset untuk Eropa di Catalyst, Inc. Dia juga PhD bidang psikologi dari Lancaster University

Lucy Kallin, Direktur Eksekutif Europe, the Middle East and Africa (EMEA) di Catalyst, Inc.

Diterjemahkan oleh Raymond Samuel dari https://blogs.lse.ac.uk/

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Harmoni Selera Musik dalam Gerakan Aktivis

Harmoni Selera Musik dalam Gerakan Aktivis

Selera musik di kalangan aktivis sangat beragam, mencerminkan latar belakang,

Next
Saatnya Menghapus Status Mitra Pengemudi Daring

Saatnya Menghapus Status Mitra Pengemudi Daring

Rencana Plt

You May Also Like
Total
0
Share