Pemilu 2024: Pertandingan Yang Tak Adil

Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, baru saja menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar dan terkompleks di dunia: lebih dari 204 juta pemilih untuk 5 jenis pemilihan (Pilpres, DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) hanya dalam sehari.

Secara keseluruhan, pemilu berlangsung dengan aman. Antusiasme pemilih juga cukup tinggi. Merujuk pada hasil hitung cepat, partisipasi pemilih untuk Pilpres mencapai 85,02 persen, sementara Pileg sebesar 83,55 persen.

Pemilu seharusnya meneguhkan jalan demokrasi kita dan sekaligus bisa menepis kekhawatiran tentang demokrasi yang mengalami kemunduran. Untuk itu, ukurannya bukan saja pemilu yang aman dan partisipasi pemilih yang tinggi. Kalau sekedar itu, orde baru pernah melakukannya dalam enam pemilu.

Lebih penting dari itu, penyelenggaraan pemilu harus berlangsung bebas, jujur, dan adil. Pada bentuk praksis, pemilu seharusnya menyediakan lapangan permainan yang seimbang (level playing field ).

Lapangan Elektoral Seimbang

Dalam perspektif minimalis tentang demokrasi (Joseph Schumpeter, 1942; Adam Przeworski, 1991), pemilu bebas dan kompetitif merupakan prasyarat paling mendasar dari bangunan demokrasi. 

Namun, tidak semua pemilu menjiwai demokrasi. Enam pemilu di bawah Orde Baru jelas tidak demokratis. Merujuk pada Przeworski, pemilu seharusnya merupakan pelembagaan ketidakpastian (institutionalized uncertainty). Dalam pengertian ini, pemilu yang bebas dan kompetitif adalah pemilu yang hasilnya tidak terprediksi. Dalam konteks Orde Baru, karena intervensi dan manipulasi penguasa untuk memenangkan Golkar, pemenang pemilu sudah diketahui sebelum pemilu.

Namun, seperti apa pemilu yang bebas dan adil itu? Elklit dan Svensson (1997) menjelaskan bebas (freedom) sebagai kesempatan kandidat atau pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu tanpa koersi (tekanan) dan pembatasan, sedangkan adil (fairness) sebagai imparsialitas dan perlakuan yang sama.

Steven Levitsky dan Lucan Way (2010) memperkaya penjelasan itu dengan memperkenalkan konsep lapangan permainan yang seimbang (level playing field), yaitu akses yang setara oleh semua kandidat maupun partai terhadap sumber daya finansial, media, dan hukum.

Namun, penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa atau petahana kerap menciptakan disparitas dalam mengakses sumber daya finansial, media, dan hukum, sehingga menyebabkan lapangan permainan berat sebelah (uneven playing field). Situasi itu akan merugikan kandidat atau partai oposisi.

Pertarungan yang Tak Adil

Sejak Presiden Joko Widodo ikut cawe-cawe dalam proses pengusungan Capres-Cawapres, lapangan permainan sudah berat sebelah. Sebab, ada kandidat yang diendorse, sementara kandidat yang merepresentasikan oposisi seperti dihadang.

Puncaknya, setelah pelanggaran etik berat di Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran Rakabuming, anak sulung Presiden Jokowi, sebagai Cawapres yang mendampingi Prabowo Subianto. Presiden Jokowi terang-terangan menunjukkan keberpihakan pada pasangan Prabowo-Gibran.

Masalahnya, ketidaknetralan Presiden itu telah mengubah lapangan kompetisi elektoral menjadi semakin berat sebelah.

Akhir tahun 2023, ada keluhan Anies Baswedan, capres dari koalisi perubahan, bahwa banyak pengusaha yang takut membantu kampanyenya karena diintimidasi aparat negara. Selain itu, kampanye AMIN paling banyak mengalami pembatalan karena perizinan dicabut, seperti Aceh, Bekasi, Pekanbaru, Ciamis, Tasikmalaya, Bandung, Tanah Datar (Sumbar), dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Presiden Jokowi menerbitkan aturan baru (PP Nomor 53 tahun 2023) yang memungkinkan pejabat Menteri hingga Walikota yang menjadi kandidat di Pilpres tidak perlu mundur dari jabatannya. Kebijakan itu memberi legitimasi pada penggunaan fasilitas negara dan acara kenegaraan untuk kampanye politik. 

Seperti diingatkan oleh Levitsky dan Way (2010), petahana yang berusaha memenangkan kandidat tertentu dalam pemilihan akan condong pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dan itu terang terjadi: gelontoran bansos berskala besar jelang pemilihan dan pengerahan aparat negara (ASN, aparat keamanan, dan Kades) untuk memenangkan kandidat tertentu.

Dan terakhir, paling miris, institusi yang berfungsi sebagai wasit tidak bisa bertindak atas berbagai pelaporan rentetan pelanggaran itu. Mereka membiarkan aturan main dikangkangi oleh kekuatan yang disokong petahana.

Akhirnya, pemilu bukan memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia, tetapi justru menggiring Indonesia dalam jebakan otoritarianisme kompetitif. Ini adalah istilah yang diperkenalkan oleh Levitsky dan Way (2010) merujuk pada rezim yang masih menyelenggarakan pemilu secara reguler, tetapi sumber daya dan institusi telah disalahgunakan untuk mengalahkan kandidat/partai oposisi dalam pemilu. 

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Bagaimana Aktivis Mahasiswa Mengubah Wajah Politik Chile?

Bagaimana Aktivis Mahasiswa Mengubah Wajah Politik Chile?

Dua dekade pascareformasi 1998, wajah politik Indonesia tak banyak berubah

Next
Bule Skotlandia Pembela Kemerdekaan Indonesia

Bule Skotlandia Pembela Kemerdekaan Indonesia

Penulisan sejarah terkadang hanya merekam mereka yang berada di tengah pusaran

Total
0
Share